Itupun, kata Djoko, program itu hingga sekarang, masih harus dilakukan proses penyempurnaan. Alasannya, agar mendapatkan model yang tepat dalam mengelola angkutan umum bersubsidi di Indonesia.

Terakhir, Djoko menyampaikan bahwa untuk mewujudkan angkutan umum yang humanis, masalah sosial lebih mengemuka ketimbang persoalan teknis. Melibatkan operator eksisiting lebih tepat kendati memerlukan waktu untuk meyakinkan.

“Selain ketersediaan anggaran juga tidak kalah pentingnya ada kemauan politik (political will) kepala daerah,” pungkasnya.

Kemudian, Proses menggeser lebih tepat ketimbang menggusur operator yang ada. Menggeser praktek pengemudi dari setoran menjadi mendapat gaji bulanan.

“Dari manajemen perorangan menjadi angkutan umum berbadan hukum sesuai Amanah pasal 139 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” tutupnya.

 

Penulis: Dirham