RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Pengamat Trasportasi, Djoko Setijowarno menganggap sudah banyak kota menanti kematian angkutan perkotaan secara bergiliran, karena tidak beroprasi lagi.

Menurutnya, di tengah ketergantungan masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi, berpotensi mengurangi jumlah angkutan umum yang beroperasi.

“Dimulai dari kota-kota kecil, seperti Kota Kediri, Kota Tanjung Pandan (yang) sudah tidak memiliki layanan angkutan umum,” ujar Djoko.

Sekalipun, masih ada layanan angkutan umum. Djoko melihat, hanya dilayani armada angkutan yang tersisa. “Usia armada, rata-rata sudah di atas 10 tahun. Bahkan, ada yang di atas 15 tahun,” ungkapnya.

Ia menilai, sungguh miris terjadi pembiaran terhadap kondisi yang ada. Tentunya, akan mempercepat proses hilangnya pelayanan angkutan umum.

Oleh karena itu, Djoko menganggap perlu intervensi pemerintah sangat diperlukan untuk menghindari kegagalan pasar layanan angkutan perkotaan.

Djoko mengatakan, membenahi angkutan umum jangan berhenti hanya di Kementerian Perhubungan. Keikusertaan Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri, juga diperlukan.

“Tidak kalah pentingnya alokasi anggaran dari Kementerian Keuangan untuk keberlangsungannya dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK),” ujarnya.

Perlu dipahami, kata Djoko, bahwa tidak mudah untuk membenahi angkutan umum di Indonesia yang sudah lama dibiarkan tidak berkembang. Contohnya, di Kota Semarang. Beroperasi Bus Trans Semarang tahun 2009, setelah dirintis sejak 2005 (butuh waktu 5 tahun). Bus Trans Jateng beroperasi tahun 2017 (butuh waktu 8 tahun).

“Sejak 2009, dilakukan kajian, perencanaan, sosialisasi hingga pengalokasian anggaran.
Pendekatan kepada operator eksisting, memerlukan waktu diskusi cukup lama,” kata Djoko.

Djoko mengatakan, Program Pembelian Layanan (buy the service) dirintis sejak akhir tahun 2017, baru efektif beroperasi Juni 2020.

“Semua itu membutuhkan proses dan melibatkan semua pihak yang berkepentingan,” ucap dia.

Itupun, kata Djoko, program itu hingga sekarang, masih harus dilakukan proses penyempurnaan. Alasannya, agar mendapatkan model yang tepat dalam mengelola angkutan umum bersubsidi di Indonesia.

Terakhir, Djoko menyampaikan bahwa untuk mewujudkan angkutan umum yang humanis, masalah sosial lebih mengemuka ketimbang persoalan teknis. Melibatkan operator eksisiting lebih tepat kendati memerlukan waktu untuk meyakinkan.

“Selain ketersediaan anggaran juga tidak kalah pentingnya ada kemauan politik (political will) kepala daerah,” pungkasnya.

Kemudian, Proses menggeser lebih tepat ketimbang menggusur operator yang ada. Menggeser praktek pengemudi dari setoran menjadi mendapat gaji bulanan.

“Dari manajemen perorangan menjadi angkutan umum berbadan hukum sesuai Amanah pasal 139 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” tutupnya.

 

Penulis: Dirham