RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Edi Subkhan, mengatakan banyak akademisi di Indonesia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan posisi guru besar.

Gelar tersebut memang dianggap sebagai puncak pencapaian pada bidang akademik. Namun, hal itu menjadi musibah jika tidak melalui tahapan yang seharusnya disaat iklim akademik belum terbangun baik.

“Sehingga yang muncul adalah jalur-jalur yang sifatnya instan,” kata Edi, Minggu (14/7/2024), mengutip tempo.co.

Edi menjelaskan bahwa praktik non prosedural tersebut mendapat restu dari banyak kampus. Menurut dia, ini berkaitan dengan akreditasi dan dana hibah riset dari pemerintah.

“Apalagi guru besarnya banyak, pasti akreditasinya akan bagus gitu. Jadi itu di satu sisi bagi kampus pasti menguntungkan juga soal akreditasi,” ucapnya.

Padahal untuk menyandang gelar guru besar, menurut Edi itu adalah hal yang sulit.

“Nah artinya memang kalau di masyarakat guru besar di Indonesia masih menjadi satu privilege yang ketika orang punya pilar itu akan dianggap sebagai satu capaian begitu ya. Padahal kalau dilihat secara rinci karyanya apa kan juga enggak jelas juga,” ucapnya.

Menurut Edi, guru besar juga mendapatkan tunjangan kehormatan dibanding dosen biasa dan nominalnya mencapai sekitar Rp 11 juta. Padahal jika dosen hanya sekitar Rp 3 juta sampai Rp 4 juta saja. Hal ini membuat banyak orang berlomba-lomba mendapatkan gelar Profesor tanpa kualitas.

“Jadi memang ke situ, tapi karena iklim-iklim yang belum terbangun baik ya akhirnya banyak yang melakukan kecurangan-kecurangan semacam itu,” tuturnya.