RAKYAT NEWS, JAKARTA – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa kekuasaan memiliki potensi untuk mempengaruhi seseorang menjadi otoriter, meskipun orang tersebut pada awalnya memiliki karakter yang baik.

Menurut Mahfud, hal ini terkait dengan teori bahwa kekuasaan cenderung membuat seseorang korupsi (power tends to corrupt), yang pada akhirnya dapat mengubah suatu negara yang demokratis menjadi otoriter.

“Teorinya power tends to corrupt. Kekuasaan itu cenderung korup, siapa pun yang berkuasa meskipun dia mula-mula baik, lama-lama nikmat,” kata Mahfud dalam diskusi Sekolah Demokrasi yang dikutip secara daring, Sabtu (27/7/2024).

“Lama-lama menerima bisikan-bisikan bahwa ‘Hanya bapak yang baik, bapak harus terus jadi presiden’. Habis waktunya (menjabat), bisa diubah UUD nya,” tuturnya.

Mahfud kemudian mengisahkan perjalanan hidup Presiden RI ke-2, Soeharto, yang terkait dengan perubahan kekuasaan. Pada awalnya, Soeharto menolak untuk menjadi presiden dengan alasan tidak pernah mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin tertinggi RI.

Pada saat itu, Soeharto lebih memilih untuk mendukung Presiden pertama RI, Soekarno, agar dapat melanjutkan jabatan sebagai Kepala Negara.

Namun, akhirnya jabatan tersebut bisa kembali jatuh ke tangan Soekarno dengan syarat untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Sampai pada akhirnya apa, datanglah utusan ke Bung Karno, ‘Pak, Bapak tetap Presiden tapi PKI tolong dibubarkan, Angkatan Darat minta PKI dibubarkan’. (Tapi) Bung Karno ndak mau, (Soekarno bilang) ‘Ndak, kalau saya presiden soko guru politik di Indonesia sejak dahulu saya sudah menulis Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis),” cerita Mahfud.

Berkat kejadian tersebut, Soeharto yang pada awalnya menolak menjadi presiden akhirnya menginginkan kedudukan tersebut. Ia kemudian menggantikan Soekarno sesuai dengan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) melalui TAP MPR Nomor XXXIII/MPRS/1967.