Selain itu, integritas seorang calon kepala daerah juga harus menjadi pertimbangan utama. Rekam jejak yang bersih menjadi modal penting untuk membangun kepercayaan publik. Calon yang pernah terlibat dalam kasus hukum, terutama yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan wewenang, seharusnya tidak dipilih. Daerah tidak bisa maju jika dipimpin oleh individu yang memiliki catatan hukum yang meragukan. Pemimpin yang baik harus menjadi contoh dalam penegakan hukum, baik dalam pemerintahan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Mereka harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya memenuhi aspek legalitas, tetapi juga mencerminkan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Tak sampai disitu, bukan hanya tentang menerima titipan dari oligarki, pengusaha, atau penguasa. Rakyat harus berhati-hati terhadap calon kepala daerah yang maju hanya karena hubungan pribadi, seperti anak, istri, atau bahkan simpanan dari orang-orang berpengaruh. Calon-calon seperti ini seringkali dipromosikan bukan karena kompetensi dan integritas mereka, melainkan karena adanya kepentingan pribadi dan hubungan kekuasaan. Pemimpin yang demikian berisiko lebih besar mengutamakan kepentingan para penunjuk mereka daripada kepentingan rakyat yang mereka pimpin. Oleh karena itu, masyarakat harus bijak dalam menentukan pilihan, bahwa calon yang dipilih benar-benar berkomitmen untuk melayani rakyat dan bukan sekadar menjadi alat bagi mereka yang berada di belakang layar.

Pada akhirnya, pertanyaan “Pemilukada: Amanah atau Titipan?” adalah refleksi dari tantangan demokrasi kita saat ini. Jawabannya ada di tangan rakyat. Hanya dengan kesadaran dan partisipasi aktif dari masyarakat, Pemilukada bisa benar-benar menjadi amanah yang akan membawa daerah menuju masa depan yang lebih baik. (*)