Beberapa waktu silam, dokter Yudi menerbitkan buku kumpulan catatannya di platform medsos facebook. Judulnya: Catatan Pagi Dokter Koboi. Tebalnya 148 halaman. Isinya soal filosopi hidup, makna persahabatan, rezeki, dan membangun silaturahmi. Juga ada tulisan motivasi dan kisah-kisah inspiratif. Berbagai catatan dokter koboi ini lahir dengan mudah dalam setiap pertemuan dengan sahabatnya.

Menurut editor bukunya, Fachruddin Palapa, konten buku dokter koboi itu adalah cermin dari aktivitas dan pergaulan penulisnya yang agak “koboi” yang diupload pada dinding facebooknya.

“Sebagai editor, saya tidak banyak mengubah tulisan-tulisan itu agar tidak mengurangi kadar ke-koboi-annya. Tulisan-tulisan dokter Yudi itu disajikan apa adanya. Natural. Tidak dibuat-buat,” papar Fachrudin dalam rilis saat launching buku itu diatas geladak perahu legendaris Phinisi yang bersandar di bibir Pantai Losari Makassar. Event itu memecahkan rekor prestasi Indonesia LEPRID dan semua hasil penjualan buku puluhan juta didonasikan bagi anak penderita kanker melalui Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia Kota Makassar.

Meskipun sudah haji empat kali ia enggan menambahkan gelar haji depan nama atau dipanggil “dokter haji” atau “pak haji”. Sebab baginya haji itu ibadah kepada Allah bukan gelar yang harus di pasang. “Alhamdulillah empat kali ke Baitullah sebagai dokter petugas haji ONH plus mengurus tamu-tamu Allah adalah ibadah yang paling membahagiakan buat saya,” tuturnya penuh haru.

Akhirnya, dugaan saya tak meleset jauh. Sebutan dokter koboi karena dokter Yudi memang “ugal-ugalan” di bermacam aktifitas sosial. Ada dimana-mana. Hadir saat dibutuhkan. Tak nampak layaknya seorang dokter pada umumnya. Dan teman-teman wartawan setempat yang mempopulerkan sebutan itu. Ia dikenal dekat dengan mereka dan sosok media darling.

“Anda keberatan dengan sebutan itu?” tanyaku memancing reaksinya.