RAKYAT NEWS, JAKARTA – Beberapa guru di berbagai wilayah dilaporkan melakukan tindakan kekerasan terhadap siswa. Contohnya, seorang guru di Wonosobo dilaporkan memukul wajah seorang siswa sambil mencoba untuk meredakan pertengkaran anak-anak.

Di Solo, seorang guru dilaporkan melempar penghapus ke seorang siswa yang sedang bersenda gurau dengan temannya. Akibatnya, siswa tersebut mengeluhkan kesulitan penglihatan dan mengalami memar di bawah mata sebelah kiri.

Pada tahun 2016, seorang guru di Sidoarjo dihukum dengan 3 bulan penjara dan denda Rp 250 ribu dengan masa percobaan selama 6 bulan karena mencubit seorang siswa yang tidak melakukan salat Dhuha.

Guru tersebut dijerat dengan Pasal 80 ayat 1 UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Meskipun guru dan orang tua siswa telah berdamai, proses hukum tetap berjalan.

UU Perlindungan Anak dan Dugaan Kekerasan oleh Guru

Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, angkat bicara mengenai penggunaan UU Perlindungan Anak dalam menindak guru yang melakukan kekerasan. Menurutnya, UU tersebut dibuat untuk melindungi hak-hak anak, terutama dalam lingkup pendidikan.

Hatifah menegaskan bahwa hak pendidikan anak juga mencakup hak untuk belajar tanpa diskriminasi, lingkungan belajar yang aman, bebas dari perundungan, dan bebas dari kekerasan verbal.

UU Perlindungan Anak juga melindungi anak dari kekerasan fisik dan psikologis, baik dari guru maupun teman sebaya.

Perlindungan Guru dalam UU Guru dan Dosen

Di sisi lain, Hetifah menyoroti UU 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengatur hak-hak guru dalam dunia pendidikan. Hak-hak guru meliputi kesejahteraan, akses pada pelatihan profesional, dan hak atas perlindungan hukum dalam menjalankan tugas mereka.

Pasal 39 UU Guru dan Dosen menegaskan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan lembaga pendidikan wajib melindungi guru dalam melaksanakan tugas mereka.

YouTube player