Forum Multi Stakeholder Ulas Potensi dan Risiko Bioetanol: Diversifikasi Sumber Dukung Bensin Ramah Lingkungan
RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto dengan sungguh-sungguh memperjuangkan pengembangan “BBM tanaman” bioetanol di dalam negeri sebagai langkah besar untuk mengurangi emisi dan polusi dari sektor transportasi.
Pemerintah yakin bahwa penggunaan bioetanol dapat meningkatkan ketahanan energi, mengurangi ketergantungan dan impor BBM, serta menekan pengeluaran devisa sambil menyelaraskan defisit neraca perdagangan.
Namun, hingga saat ini, fokus pemerintah hanya pada bioetanol dari tebu saja. Padahal, ada penelitian yang menunjukkan bahwa peningkatan luas tanah dan aktivitas perkebunan dapat berdampak pada emisi gas rumah kaca (GRK) dan membahayakan 2 juta hektar lahan termasuk hutan dan wilayah adat di Merauke.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai dampak lingkungan dan ekonomi dari bioetanol, terutama dengan tantangan besar dalam pengembangan bioetanol di Indonesia.
Forum diskusi publik dengan tema Bensin Hijau: Apakah Berkelanjutan dan Menguntungkan? mencoba menggali jawaban atas ketidakpastian tersebut.
Diskusi melibatkan Efendi Manurung, Koordinator Teknik dan Lingkungan Bioenergi dari Kementerian ESDM, Refina Muthia Sundari, Manager Riset Traction Energy Asia, dan Soemitro Samadikoen, Ketua Umum DPN APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia).
Dalam penyampaian pandangannya, Efendi mengakui adanya berbagai tantangan dalam pengembangan bioetanol yang membuat implementasinya jaleh dari rencana.
Namun, Efendi menekankan bahwa tantangan ini dapat diatasi dengan menggunakan segala potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia seperti jagung, kelapa sawit, pohon nipah, dan sorgum manis.
Refina, sebagai pengamat, mengemukakan hasil kajiannya dari Traction tahun 2022 yang menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan dan gas N2O dari aktivitas pertanian menjadi kontributor terbesar emisi (hampir 60%) dalam sistem perkebunan.
“Apabila tidak ada diversifikasi, justru akan semakin menjauhkan Indonesia dari target pengurangan emisi,” ujar Refina.
Menanggapi hal itu, Soemitro dari perspektif petani tebu membawa peserta diskusi untuk merenungkan Perpres 40/2023 tentang swasembada gula.
“Gula ini harus swasembada dulu. Terlalu riskan kalau dibuat bioetanol tapi gula kita masih impor,” tuturnya.
Menurut Soemitro, menanam tebu bukanlah hal yang bisa dipaksakan. Tanaman tebu memerlukan pabrik pengolahan yang sepadan. Oleh karena itu, kebijakan ini membutuhkan pemetaan, strategi, dan penilaian yang jelas, termasuk melibatkan komunitas dan menghormati lingkungan.
Tujuan dari diskusi ini adalah menjajaki opsi-opsi untuk mengoptimalkan potensi bioetanol dan mengurangi risikonya di Indonesia. Efendi menegaskan pentingnya pendekatan terintegrasi dalam pengembangan bioetanol sambil menegaskan komitmen pemerintah terhadap swasembada gula.
“Jika gula kita bisa swasembada, bioetanol bisa mengikuti karena yang diambil limbahnya,” pungkasnya.
Sementara itu, Refina menyarankan penggunaan selulosa alternatif yang berasal dari limbah kelapa sawit sebagai potensi sumber bahan baku. Selain itu, Refina mengusulkan pemerintah untuk menciptakan kawasan ekonomi khusus yang akan merangsang pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah dengan rantai pasok yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Apakah target ini dapat tercapai dalam waktu singkat tanpa mengganggu produksi pangan? Refina mengungkapkan dukungannya terhadap energi berkelanjutan dari limbah, tetapi menekankan perlunya studi lebih lanjut dan modal yang cukup untuk mewujudkannya. Bagi Soemitro, komitmen dan rencana yang matang menjadi kunci untuk mewujudkan ambisi besar ini.
Forum ini merupakan forum multi stakeholder pertama yang diinisiasi oleh The Conversation Indonesia (TCID) dan dihadiri oleh lebih dari 200 perwakilan dari pemerintah, akademisi, peneliti, LSM, media, asosiasi, pelaku industri, serta mahasiswa dan masyarakat umum.
Tinggalkan Balasan