MAKASSAR – Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak yang terdiri dari LBH Makassar dan LBH Apik Sulsel menyatakan sikap merespon Kasus kekerasan seksual terhadap tiga anak di bawah umur di Luwu Timur (Lutim), Sulawesi Selatan, Selasa (12/10/2021).

Baca Juga : Polisi Tetapkan Pelaku Penipuan Modus Kuliah Sebagai Tersangka

Kuasa Hukum Korban melalui Siaran Pers merespon perkembangan kasus setelah pihak korban beberapa kali didatangi pihak Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur.

Kedatangan pihak-pihak tersebut dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada ibu korban ataupun koordinasi dengan tim kuasa hukum.

“Tanggal 07 Oktober 2021, siang hari, tim dari penyidik Polres Luwu Timur dan petugas P2TP2A Luwu Timur mencoba menemui para anak korban dengan alasan mengecek kondisi para anak. Upaya tersebut dihalangi oleh pihak keluarga,” ujar Kuasa Hukum Haedir dan Rosmiati Sain.

Tanggal 08 Oktober 2021, malam hari, tim dari Polres Luwu Timur yang dipimpin Kapolres memakai seragam lengkap mendatangi kembali dan menemui Ibu Korban.

Ibu korban yang saat itu tanpa ditemani kuasa hukum, diminta bicara dengan direkam keterangannya untuk “menjelaskan ke media supaya tidak ada kesimpangsiuran berita” diikuti dengan beredarnya pemberitaan dan foto Ibu korban bersama Kapolres, yang disebut-sebut berjanji akan membawa bukti ke Polres Luwu Timur.

Tanggal 09 Oktober 2021, malam hari, tim dari Polres Luwu Timur mendatangi kediaman kerabat ibu korban untuk membahas soal ramainya “fakta yang tidak berimbang” dalam pemberitaan kepada keluarga besar korban.

“Tanggal 10 Okt 2021, pukul 10 pagi, 3 orang dari P2TP2A Luwu Timur kembali mendatangi pihak korban dengan alasan untuk mengambil data. Namun, ibu korban menolak kedatangan mereka dan menyuruh mereka pulang. Ibu korban sempat menegur salah satu dari orang yang datang karena mengambil gambar/video ibu korban secara diam-diam.,” ungkapnya.

Menurut Kuasa Hukum korban, penanganan kasus ini tidak memiliki perspektif perlindungan korban.

“Tindakan tersebut menunjukkan kembali Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur, tidak memiliki perspektif perlindungan korban dalam menangani kasus anak,” ujarnya.

Ia juga mempertegas keberatannya atas penghentian penyelidikan karena kesalahan prosedur.

“Perlu kami ingatkan kembali bahwa keberatan kami atas penghentian penyelidikan kasus juga karena adanya dugaan kuat kesalahan prosedur yang dilakukan oleh P2TP2A Luwu Timur dan Polres Luwu Timur, sehingga tidak semestinya kedua pihak tersebut menemui pelapor/korban,” ungkapnya.

Kuasa Hukum juga mempertegas terkait penyelesaian kasus tersebut yang telah merugikan pihak korban.

“Yang pasti kasusnya harus dituntaskan oleh pihak kepolisan, tidak ditutup,” tegas Rosmiati Sain kepada rakyatdotnews.

Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen. Pol. Drs. Rusdi Hartono, M.Si. saat konferensi pers Mabes Polri terkait Dugaan Pemerkosaan Tiga Anak, Selasa (12/10), mengatakan kasus yang terjadi Luwu Timur bukan tindak pidana pemerkosaan, melainkan laporan pencabulan.

“Penyidik menerima surat pengaduan dari saudari RS pada tanggal 9 Oktober 2019. Isi surat pengaduan ini, yang bersangkutan melaporkan bahwa diduga telah terjadi peristiwa pidana yaitu perbuatan cabul,” katanya.

Ia menegaskan perbuatan tindak pidana yang dilakukan seorang ayah dari tiga anak bukan laporan pemerkosaan, melainkan tindak pidana pencabulan.

“Jadi bukan perbuatan tindak pidana pemerkosaan, seperti yang viral di media sosial dan perbincangan publik. Ini yang perlu kita ketahui bersama,” ungkapnya.

Hal tersebut didapatkan oleh Tim dari dari Mabes Polri dan Polda Sulsel saat melakukan dan asistensi.

Kasus di Luwu Timur kembali menjadi sorotan setelah www.projectmultatuli.com menerbitkan liputan media dengan judul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan”.

Sebelumnya, Mabes Polri mengerahkan Tim Asistensi untuk penanganan kasus tersebut yang proses penyilidikannya dihentikan oleh Polres Luwu Timur dan Polda Sulsel.

Kuasa Hukum dari korban juga mendesak agar Mabes Polri mengambil alih penanganan kasus tersebut yang terkesan lamban ditangani oleh Polsek setempat.

“Kami menyayangkan respons POLRI yang menunggu bukti baru dari pihak pelapor untuk dapat membuka kembali penyelidikan Pernyataan itu dapat menyesatkan publik karena, seolah membebankan pembuktian pada pelapor. Dalam perkara pidana polisi yang punya kewenangan untuk mencari bukti bukan korban maupun masyarakat yang mencari keadilan,” kata Kuasa Hukum.