Oleh: Ketua KKSS DKI Jakarta, Syamsul Zakaria

Sejarah pembantaian yang dipimpin Raymond Paul Pierre Westerling di Sulawesi Selatan pada Desember 1946 hingga Februari 1947 bukan hanya meninggalkan luka mendalam, tetapi juga menciptakan jejak heroik yang abadi. Setiap 11 Desember, masyarakat Sulawesi Selatan memperingati tragedi Korban 40.000 Jiwa. Bagi kami, ini bukan sekadar hitungan angka korban, melainkan simbol keberanian, keteguhan, dan semangat warga Sulsel dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Di balik peristiwa kelam ini, tersirat makna yang jauh lebih dalam. Semangat warga Sulsel, khususnya di Makassar, menunjukkan bahwa keberanian mereka melampaui ketakutan terhadap kematian. Mereka rela mengorbankan jiwa demi kemerdekaan yang menjadi hak setiap bangsa. Semangat itu tidak hanya menjadi pengingat sejarah, tetapi juga warisan moral yang terus hidup hingga kini.

Sebagai Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) DKI Jakarta, saya percaya bahwa semangat perjuangan ini adalah tanggung jawab kita untuk dijaga dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Bukan hanya untuk melawan penjajahan secara fisik, tetapi juga untuk menghadapi setiap bentuk ancaman terhadap kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.

Semangat 40.000 Jiwa mengajarkan kita untuk selalu berada di garda terdepan dalam menjaga amanah kemerdekaan. Amanah ini bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga masa kini dan masa depan. Semangat ini mengingatkan bahwa keberanian dan tanggung jawab adalah inti dari perjuangan.

Oleh karena itu, setiap peringatan Korban 40.000 Jiwa adalah momentum untuk merefleksikan diri, menjaga persatuan, dan memperkuat komitmen kita sebagai bangsa yang merdeka. Tidak ada ruang bagi pihak manapun untuk menyalahgunakan amanat kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah dan nyawa.

Semangat warga Sulsel akan terus hidup. Ia bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi inspirasi abadi bagi kita semua. Mari menjaga api semangat itu tetap menyala, demi Indonesia yang lebih baik.

YouTube player