RAKYAT NEWS, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan perkawinan tanpa agama yang dilakukan oleh Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto.

MK menegaskan bahwa agama dan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan persyaratan penting dalam sahnya perkawinan, sehingga Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak bertentangan dengan konstitusi.

“Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan unsur yang tidak dapat dihilangkan dari syarat sahnya perkawinan,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan Putusan Nomor 146/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Jumat.

Dalam kasus ini, Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto, yang menyatakan tidak memiliki agama dan keyakinan tertentu, mempermasalahkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan sah jika dilakukan sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.

Raymond dan Teguh berargumen bahwa pasal tersebut membatasi hak mereka untuk membentuk keluarga secara sah karena dianggap tidak memperhatikan warga negara yang memilih untuk tidak memeluk agama atau keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Mahkamah menjelaskan bahwa beragama dan berkeyakinan adalah hal yang penting sebagai bagian dari karakter bangsa dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

MK berpendapat bahwa tidak memberikan pilihan kepada warga negara untuk tidak beragama atau tidak memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan pembatasan yang sewajarnya dan bukan diskriminasi terhadap warga negara.

MK meyakini bahwa perkawinan tidak lepas dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 1 UU Perkawinan menegaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga dalam rumah tangga yang bahagia dan harmonis berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Dengan tidak adanya ruang bagi warga negara Indonesia untuk memilih tidak menganut agama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka norma hukum positif yang hanya memberikan pengesahan terhadap perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing bukanlah norma yang menimbulkan perlakuan diskriminatif,” ucap Arief.

Lebih lanjut, karena perkawinan merupakan bagian dari ibadah sebagai ungkapan beragama atau berkeyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka perkawinan dapat diatur oleh negara sebagai forum eksternum dan negara memiliki kekuasaan untuk menetapkan tata cara dan syarat-syaratnya.

Dengan adanya Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, negara mempercayakan perkawinan kepada ajaran agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena syarat sah perkawinan ditetapkan oleh hukum dalam setiap agama dan kepercayaan.

Atas dasar itu, MK menolak permohonan Raymond dan Teguh. “Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan adalah tidak beralasan menurut hukum,” demikian Arief.

Dalam kasus yang sama, Raymond dan Teguh juga menguji UU KUHP yang baru namun tidak diterima oleh MK. Selain itu, mereka juga menguji UU HAM, UU Adminduk, dan UU Sistem Pendidikan Nasional yang juga ditolak oleh MK secara keseluruhan.

YouTube player