ENREKANG- Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Enrekang dalam memasuki triwulan akhir atau akhir tahun menetapkan dua kebijakan kontroversial.

Baca juga: Pemkab Enrekang dan Bea Cukai Pare-Pare lakukan Operasi Pasar

Kebijakan pertama akan melakukan proses rasionalisasi atau pemangkasan jumlah tenaga honorer pada bulan November mendatang.

Rasionalisasi tenaga kontrak sukarela atau honorer ini dilakukan lantaran dinilai sudah membebani keuangan daerah sekitar Rp 29 miliar.

Serta kebijakan kedua adalah menambah jumlah anggaran belanja perjalanan dinas sebesar Rp 1,8 miliar dalam APBD perubahan 2021.

Padahal, saat ini masih dalam masa pandemi Covid-19 dan masa efektif penggunaan anggaran di APBD 2021 tersisa lebih sebulan.

Kebijakan tersebut pun mendapat sorotan dari

Aktivis Pergerakan Koalisi Rakyat (Perkara) Enrekang, Misbah mengatakan kedua kebijakan itu sangat menyakiti hati masyarakat Enrekang terkhusus para tenaga honorer.

Pasalnya, dua kebijakan itu berbanding terbalik satu sama lain.

Di sisi lain Pemda ingin memangkas jumlah tenaga honorer dengan alasan bebani keuangan daerah.

Tapi anehnya, Pemkab Enrekang justru menambah jumlah anggaran perjalanan dinas di APBD 2021 sebanyak 3 persen.

“Ini tentu kebijakan yang tidak masuk akal, kalau memang keuangan daerah terbebani kenapa anggaran perjalanan dinas diperbanyak, harusnya juga dipangkas dong,” ujar, Misbah Jumat (29/10/2021) siang.

“Apalagi ini masih dalam masa pandemi dan juga sudah mau akhir tahun, kesannya uang rakyat mau dipakai seenaknya dan jalan-jalan saja para pejabat,” lanjutnya.

Misbah menilai, lebih elok jika anggaran perjalanan dinas saja yang dipangkas jangan para tenaga honorer.

Karena para tenaga honorer lebih berkinerja dan efektif untuk daerah ketimbang memperbanyak perjalanan dinas yang tak jelas outputnya.

“Pemerintah harusnya pikirkan kesejahteraan rakyatnya, bukan keuntungan pribadinya,” ujarnya.

Sebelumnya Kabid Anggaran BPKAD Enrekang, Juhardy mengatakan naiknya belanja perjalanan dinas dalam APBD-P 2021 lantaran memang ada beberapa faktor.

Salah satunya adalah banyak pelaksanaan konsultasi dan koordinasi ke provinsi karena banyak aturan yang berubah-ubah ataupun disinkronisasi.

Meski begitu, ia mengatakan secara keseluruhan sebenarnya belanja OPD sebenarnya berkurang.

Hanya saja memang ada kegiatan-kegiatan yang sifatnya tidak wajib yang digeser ke belanja yang memiliki skala prioritas lebih tinggi.

Sehingga dilakukan pergeseran anggaran ke kegiatan yang dianggap diprioritaskan tersebut.

“Jadi bukan penambahan anggaran ke OPD yah, tapi hanya pergeseran anggaran saja termasuk belanja perjalanan dinas tersebut,” jelasnya.

Ia, mengatakan dari pemangkasan tenaga honorer ada banyak faktoor yang pengaruhi.

Salah satu dasar utamanya adalah Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK, yang meminta Pemda untuk mempertimbangkan pengurangan jumlah tenaga honorer.

“Sehingga ini harus dilakukan untuk menyeimbangkan keuangan daerah, karena eseluruahn anggaran untuk tenaga honorer itu sekitar Rp 29 miliar,” tutupnya.