Kajati Jateng Usul KUHAP Baru Berbasis Sistem Integralistik
RAKYAT.NEWS, SEMARANG – Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin, menilai lemahnya koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam proses penyidikan kerap menjadi celah terjadinya pelanggaran prosedur, yang pada akhirnya menggagalkan proses pembuktian di pengadilan.
Pernyataan itu ia sampaikan saat menjadi keynote speaker secara daring dalam Seminar Nasional bertajuk “Menyongsong Pembaharuan KUHAP melalui Penguatan Peran Kejaksaan dalam Mewujudkan Integralitas Sistem Peradilan Pidana Indonesia”.
Seminar tersebut digelar oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah bersama Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) di Gedung Purwahid Patrik, FH Undip, Tembalang, Kota Semarang.
Dalam paparannya, Burhanuddin mendorong agar Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mengatur secara tegas mekanisme kerja bersama sejak awal tahap penyidikan.
“Relasi antar penegak hukum perlu ditata ulang untuk menciptakan sistem yang sehat dan seimbang,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya pembahasan RUU KUHAP dilakukan secara cermat dan melibatkan berbagai unsur, agar tidak sekadar menjadi produk legislasi teknis, melainkan hukum acara yang kuat secara yuridis dan tahan uji secara konstitusional.
Dalam kesempatan itu, Burhanuddin juga menyoroti kelemahan mekanisme pengawasan terhadap tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, dan penyadapan, yang saat ini masih bergantung pada jalur praperadilan. Menurutnya, jalur tersebut belum cukup efektif dalam mengontrol penyimpangan wewenang.
“KUHAP yang ada sekarang masih terlalu menekankan pendekatan represif, dan belum mampu menjamin perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak tersangka maupun terdakwa,” katanya. Oleh karena itu, pembaruan KUHAP menurutnya tidak boleh hanya menyentuh perubahan norma hukum, tetapi harus merefleksikan nilai-nilai sistem peradilan yang lebih humanis, inklusif, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Tengah, Dr. Hendro Dewanto, dalam sambutannya menilai bahwa penggunaan istilah “koordinasi” dalam hubungan kerja antara penyidik dan jaksa terlalu longgar dan tidak memberikan kepastian hukum.

Tinggalkan Balasan