RAKYAT.NEWS, MAKASSAR – PT. Huadi Nickel Alloy resmi menggugat 20 buruh Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pengadilan Negeri Makassar. Gugatan ini memicu kecaman dari serikat buruh yang menilai langkah perusahaan sebagai bentuk itikad buruk dan upaya membenarkan praktik sistem kerja serta upah yang dinilai tidak layak.

“Yang ingin digugat PT. Huadi Nickel Alloy merupakan upaya membenarkan praktik yang mereka lakukan dalam hal ini sistem kerja dan upah yang tidak layak,” tegas Muhammad Ansar, Selasa (26/8/2025).

Dalam dokumen gugatan, PT. Huadi Nickel Alloy mendalilkan sejumlah poin. Pertama, perusahaan menyatakan telah bersepakat dengan buruh mengakhiri hubungan kerja per 1 Maret 2025 dengan alasan efisiensi karena perusahaan mengalami kerugian. Namun, buruh menilai klaim kerugian itu tidak pernah terbukti.

Kedua, perusahaan mengklaim sudah membayar upah lembur dengan insentif sebesar 40 persen dari gaji pokok dan tunjangan sejak Januari 2024. Tetapi, buruh menegaskan pembayaran lembur tidak sesuai mekanisme UU Ketenagakerjaan. Mereka bahkan tidak pernah mendapatkan hak istirahat yang layak dan seringkali harus makan di tempat kerja.

Ketiga, perusahaan keberatan atas rekomendasi Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) yang menyatakan adanya kekurangan pembayaran upah. Padahal, pengawas Disnaker sudah berulang kali melayangkan surat konfirmasi kepada perusahaan mengenai sistem kerja yang diterapkan, namun tidak pernah ditanggapi.

Keempat, dalam gugatannya, perusahaan bahkan menuntut buruh membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp1 juta per hari terhitung sejak keluarnya putusan berkekuatan hukum tetap.

Menanggapi gugatan itu, buruh KIBA bersama tim hukumnya menyatakan akan membantah seluruh dalil perusahaan dalam agenda pembacaan jawaban. Mereka juga menyiapkan gugatan balik (rekonvensi) kepada PT. Huadi Nickel Alloy.

“Gugatan ini satu bentuk pengingkaran terhadap aturan ketenagakerjaan. PT. Huadi Nickel Alloy secara sadar telah melakukan pelanggaran HAM dan dengan lancangnya mengajukan gugatan terhadap pekerjanya. Kami gugat balik!” tegas Hasbi Asiddiq.

Menurut buruh, praktik upah lembur yang tidak sesuai aturan bukan hanya dialami 20 pekerja tergugat, tetapi juga ribuan buruh lain di perusahaan tersebut. Selain itu, mereka juga mengungkapkan adanya praktik pembayaran upah di bawah UMP. Berdasarkan SK Gubernur Sulsel No. 1423/XII/Tahun 2024, UMP 2025 ditetapkan Rp3.657.527,37. Namun, gaji pokok yang diterima buruh hanya Rp3,5 juta, sehingga ada kekurangan Rp157.527,37 per bulan per orang sejak Januari 2025 hingga kini.

Serikat buruh menilai langkah perusahaan menggunakan jalur hukum justru menunjukkan bagaimana aturan dipakai untuk melanggengkan praktik kerja yang melanggar hukum. Mereka menekankan bahwa kasus ini bukan sekadar soal upah, tetapi juga menyangkut pelanggaran hak asasi manusia.

“Harapan kami kepada seluruh rakyat, kepada seluruh buruh, untuk terus bersolidaritas dan mendukung perjuangan buruh. Sebab perjuangan buruh tidak hanya terjadi hari ini, namun akan terus sampai putusan dimenangkan oleh buruh,” seru Juned, perwakilan SBIPE Bantaeng.

YouTube player