“Tahunya modal, terus dagang, sudah itu saja. Bahkan dengan omset Rp 15 juta – Rp 25 juta per bulan harus sudah bisa menghitung itu. Untuk perusahaan sekecil apa pun itu sebaiknya harus dihitung,” ucapnya.

Selain manajemen keuangan, kelemahan UMK yang lain adalah malas mendaftarkan produknya ke Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan mengurus Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) karena dianggap merepotkan atau kurang penting.

Dia mengatakan UMK harus sadar jika peraturan pada dasarnya bukan ingin membuat ribet, karena kalau tidak ada aturan maka orang akan berusaha seenaknya sendiri.

“HKI ini sangat penting, begitu juga SIUP. Solusi dari saya, Anda harus melibatkan diri sendiri dan mendatangi Disperindag dan Dinas UMK setempat dan minta pendampingan. Bisnis itu memang ribet, kalau tidak mau ribet ya jangan berbisnis,” jelasnya.

Sebagai perusahaan yang berkomitmen mendukung geliat roda perekonomian daerah melalui pengembangan UMK, PLN tengah memfokuskan pada program pembinaan, perizinan dan sertifikasi bagi masyarakat atau UMK agar dapat naik kelas.

Sebelumnya, Kementerian BUMN bekerja sama dengan Kementerian Investasi dan Kementerian Perindustrian untuk membantu UMK binaan BUMN, termasuk PLN, agar mendapatkan bimbingan dalam mendaftarkan HKI maupun sertifikasi untuk mengembangkan usahanya.

Baca Juga : PLN Salurkan Sepeda Listrik untuk Balkondes Ngadiharjo, Bentuk Dukungan untuk Ekraf