Fahrul menyayangkan, dalam perkembangannya, kader HMI gagal memaknai kata modern secara tepat sehingga terkesan mengikuti arus sesuai trend.

“Kita gagal memberi makna modern, apakah modern yang dimaksud kita mengikuti sesuai trend? Jadi pemahaman ini dulu yang mesti diluruskan. Kalau kita baca buku studi culture, modern itu manusia mengetahui apa yang dilakukan. Bagaimana caranya mau merawat mata air HMI, kalau ia tidak mengetahui apa yang harus dilakukan, karena kader HMI dianggap mampu beradaptasi, mampu membaca ke depan, memprediksi apa yang terjadi ke depannya,” ujar Fahrul.

Terkait kinerja pengurus yang sedang berjalan dan yang akan datang, Fahrul berharap agar program kerja yang dihadirkan berkelanjutan sehingga dapat mencapai tujuan HMI sesungguhnya.

“Program kerja itu mesti sistemik, berkelanjutan. Bukannya setiap kepengurusan berganti, berganti juga program kerjanya. Tidak ada program yang berlanjut. Sehingga anak HMi selain kehilangan tujuan, juga kehilangan mimpinya,” harapnya.

Sementara itu, Bahtiar Husain mengatakan, tema tentang refleksi mata air HMI ini mengharuskan kader membayangkan himpunan bertahun-tahun yang lalu.

“Yang saya refleksikan dari HMI, tujuan HMI, terbinanya insan akademis pencipta pengabdi yang bernafaskan islam, hal ini ternyata sangat penting bagi kami dan apa yang dilakukan cak nur di palembang, merumuskan NDI yang sekarang berubah menjadi NDP. Inilah dua hal yang menurut saya penting untuk direfleksikan,” kata Bahtiar.

Batti sapaannya juga menyayangkan kader HMI yang terlalu berlebihan mengambil sikap kritis terhadap degradasi himpunan, tetapi tidak pernah menghadirkan problem solving untuk HMI agar sesuai dengan perkembangan zaman.

“Saya berfikir kenapa HMI mengalami degradasi? Pertanyaan ini sering diajukan dan sebenarnya ini berasal dari pengurus HMI itu sendiri. Mengapa bukan solusi yang difikirkan,” tanya Batti kepada para hadirin.