Makassar, Rakyat News – Lensa Demokrasi bersama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Perguruan Tinggi (Perti) Fajar dan Indonesia Public Health Committee (IPHC) menggelar diskusi publik dengan tema “Merajut Kembali Persatuan Pasca-Pilpres 2019”. Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Trisula, Jalan Boulevard, Makassar, Rabu (3/7/2019).

Hadir empat nasaumber yakni Dekan FISIPOL Unibos, Dr Arief Wicaksono S.IP MA, Pegiat Literasi yang juga Politisi Muda Partai Hanura, Wawan Mattaliu, Anggota DPRD Sulsel yang juga Politisi Muda PAN, Irfan AB serta Ketua PW GP Ansor Rusdi Idrus. Diskusi ini dipandu aktivis HMI Makassar, Irwan AR.

Wawan Mattaliu yang diberikan kesempatan pertama, mengatakan mendiskusikan persatuan Pasca Pilpres 2019 sangat penting. Terminologi cebong dan kampret yang muncul pada momentum Pilpres 2019 lalu, semestinya ada yang cepat menjadi filter kata itu.

Sebab, Pilpres beberapa bulan lalu diakuinya menimbulkan keretakan sosial di masyarakat. Politisi Partai Hanura itu menyebut, persoalan itu dampaknya bisa menjadikan semua pihak sama-sama menanggung susah.

Apalagi, setelah Mahkama Konstitusi (MK) memutuskan gugatan Pilpres dan KPU sudah menetapkan pemenang Pilpres yakni Jokowi-Ma’ruf.

“Maka jangan lagi ada cebong dan kampret,” ujar anggota DPRD Sulsel itu.

Cebong dan Kampret adalah dua kubu dari masing-masing pendukung calon Presiden beberapa waktu lalu. Kedua julukan ini beredar ditengah masyarakat, utamanya di jagat Maya selama Pilpres berlangsung.

Cebong ditunjukkan untuk pendukung pasangan nomor urut satu Jojowi-Ma’ruf dan Kampret untuk nomor urut dua, Prabowo-Sandi. Menurut Wawan yang juga pendukung Jokowi-Ma’ruf ini, kedua kelompok ini saling berselisih di dunia Maya namun tak memiliki solusi.

“Kelas Cebong dan Kampret ini adalah orang-orang menengah keatas. Mereka tidak tahu, beberapa elite yang terlihat bermusuhan di TV, itu kerap nongki bersama di Cafe,” ungkapnya.

Politisi Muda Partai Hanura menambahkan, distribusi hoax terbesar itu dihasilkan dari kalangan kelas menengah contohnya mahasiswa.

“Kelas menengah yang harusnga menjadi filter kegaduhan politik tidak bekerja dengan baik. Namun, dengan melihat hasil politik ini persatuan bukan hanua tanggungjawab pemerintah tapi tanggungjawab kita bersama,” ujarnya.

Sementara, Irfan AB mengaku, retakan yang ada dalam semarak pesta domekrasi ini hanya ada di dunia maya, bukan sesuatu realitas objektif atau terjadi di dunia nyata.

“Bahkan retakan yang terjadi itu saya ibaratkan seperti piramida terbalik dimana kalangan elit itu perpecahannya semakin terasa, tapi dikalangan bawah tidak,” ujar Politisi PAN ini.

“Karena di lingkungan saya tidak ada memutuskan silaturahim. Jadi saya kira, setelah Pilpres, tidak ada lagi yang bilang Jokowi atau Prabowo,” imbau Irfan AB, selaku pendukung Prabowo-Sandi.

Kata dia, di realitas nyata tidak ada masalah. Justru kalangan menengah ke atas ini yang sulit untuk move on. Sementara kalangan bawah saat ini hanya berpikir tentang kebutuhan mendasar.

“Seperti apakah kita bisa makan hari ini? Anak saya bisa sekolah?” katanya.

Menurut legislator Sulawesi Selatan itu, yang harus dilakukan saat ini adalah mengevaluasi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Irfan yang ikut merasakan kegiatan kampanye sebagai legislator, di samping mengkampanyekan diri sendiri, juga mengkampanyekan capres-cawapres yang diusung parpol.

“Mohon maaf saja, saat melakukan kampanye, saya tentu akan lebih memprioritaskan diri sendiri dibanding mengkampanyekan Capres-Cawapres,” tutur Irfan.

Rusdi Idrus, Ketua PW GP ANSOR Sul-Sel, mengaku berbeda dengan pendapat Irfan AB. Ia mengatakan perpecahan nampak terjadi di dunia maya dan dunia nyata.

Menurutnya, perselisihan dua kubu di dunia Maya harus segera dibendung. Fenomena hoax yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Isu yang bergulir didunia maya memiliki dampak kepada masyarakat. Ibaratnya seperti bola salju ketika dibiarkan bergulir dapat menjadi pembelajaran yang tidak baik bagi bangsa.

“Tetapi pasca Pilpres ini yang terpenting bagaimana kita kembali pada sila ke-tiga Pancasila yakni persatuan Indonesia, karena awal berdirinya bangsa kita bahkan dari negara majapahit semboyan Bhineka Tunggal Ika sudah digaunkan,” ungkapnya.

Dekan Fisipol Unibos, Arief Wicaksono, menyampaikan, dengan melihat keretakan sosial ini, hal yang perlu dilakukan pasca Pilpres yakni rekonsilisasi. Menurut teori konflik memang seperti itu ketika telah terjadi kegaduhan, harus direkonsiliasi.

Arief Wicaksono, menyarankan tentang perlunya rekonsiliasi pasca Pilpres. Dia berpandangan, mencuatnya terminologi cebong dan kampret pada Pilpres 2019 lalu menandakan di kalangan masyarakat telah terjadi disorientasi sosial.

Namun kenyataannya, Arief menilai, upaya rekonsiliasi tersebut hanya ingin terjadi di tingkat elite, padahal kalangan bawah yang terkena dari imbas politik ini yang semestinya dipikirkan untuk melakukan rekonsiliasi.

“Yang di tingkat elite itu tidak ada masalah karena sisa bagi-bagi saja, tetapi di tingkat bawah ini, kalau tidak kita seriusi, kita khawatir kerusakan di kalangan masyarakat akan semakin memprihatinkan sampai ke depan,” jelas Arief.

“Tadi malam saya ketawa melihat berita tentang bagi kursi kabinet dalam upaya rekonsliasi padahal rekonsiliasi itu bukan dikalangan elit tapi dikalangan bawah karena watak bangsa kita yang perlu dijaga,” tegas Arief.

Kegiatan ini dihadiri kurang lebih 60 peserta dari perwakilan organisasi kepemudaan dan mahasiswa dari bebagai kampus di Kota Makassar. Dalam sesi diskusi, mereka sepakat untuk kembali merajut persatuan dan kesatuan pasca Pilpres 2019.