JAKARTA – Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof Denny Indrayana mengatakan, wacana penundaan pemilu 2024 yang belakangan berkembang di tanah air merupakan sebuah pelecehan konstitusi.

“Dari Melbourne (Australia), saya dengan cemas dan gusar mengikuti perkembangan politik-hukum konstitusi di tanah air. Dalam hari-hari ini, partai-partai koalisi pemerintah (PKB, Golkar, PAN, Nasdem, PPP), menyatakan dukungannya bagi penundaan pemilu 2024. Baru PDI Perjuangan yang secara terbuka menyatakan penolakannya, yang belum tahu juga apakah tetap bisa bertahan dan tidak tergoyahkan. Ingat, penundaan pemilu berarti pula perpanjangan jabatan presiden dan parlemen—serta pula kepala daerah,” ujar Prof Denny dalam keterangan tertulisnya, Jumat (25/02/2022).

Baca Juga : Prof Yusril Ihza Mahendra: Wacana Penundaan Pemilu Hadapi Benturan Konstitusi

Menurutnya, wacana penundaan pemilu harus mendapat tanggapan secara serius sebab membahayakan politik hukum indonesia.

“Ini adalah perkembangan yang memalukan, sekaligus membahayakan, karena itu harus pula ditanggapi dengan serius dan cepat. Wacana penundaan pemilu, sebenarnya adalah bentuk pelanggaran konstitusi yang telanjang alias pelecehan atas konstitusi (contempt of the constitution),” katanya.

Dalam teori ketatanegaraan, pelanggaran atas konstitusi hanya dimungkinkan dalam situasi sangat darurat, hanya demi menyelamatkan negara dari ancaman serius yang berpotensi menghilangkan negara. Sejarah Indonesia mencatat, pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 1945, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebagai salah satu pelanggaran konstitusi, yang akhirnya diakui menjadi sumber hukum bernegara yang sah dan berlaku.

Namun alasan pelanggaran konstitusi harus jelas untuk penyelamatan negara dan melindungi seluruh rakyat Indonesia (for the sake of the nation and the people). Ukurannya adalah dampak dari tindakan pelanggaran konsitusi harus semata-mata demi menyelamatkan negara bangsa. Indikator penting lainnya adalah pembatasan kekuasaan (limitation of power) dan penhormatan terhadap hak asasi manusia sebagai pilar-pilar utama dari prinsip konstitusionalisme.

Maka, dengan parameter demikian, menunda pemilu 2024, menambah masa jabatan presiden, memperpanjang masa jabatan parlemen, dan kepala daerah, nyata-nyata adalah potret pelanggaran konstitusi yang berjamaah, karena lebih didasari pada dahaga atas kekuasaan semata (machtsstaat) dan bukan berdasarkan perjuangan tegaknya negara hukum.

Ia meminta Presiden Joko Widodo untuk segera meluruskan pelanggaran serius ini.

“Seharusnya Presiden Jokowi, sebagai kepala negara harus segera meluruskan pelanggaran serius ini. Itu kalau beliau serius dengan sumpah jabatannya di atas Al-Qur’an untuk menjalankan konstitusi dengan selurus-lurusnya, dan jika beliau tidak ingin dianggap sebagai bagian dari pelaku yang mengorkestrasi pelanggaran konstitusi bernegara tersebut,” tutupnya.

Baca Juga : 2 Alasan Nasdem Kecam Wacana Penundaan Pemilu 2024

Pilihan Video