MAKASSAR – Sidang Dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur lingkup Pemprov Sulsel yang menyeret Edy Rachmat Eks Sekdis PUTR dan turut melibatkan Gubernur Sulsel Nonaktif Nurdin Abdullah kembali digelar di ruang Prof Haripin Tumpa PN Makassar, Kamis (26/08/2021).

Ini merupakan sidang keenam atas perkara tersebut, kesaksian diperlukan untuk memperkuat dugaan keterlibatan Nurdin atas dakwaan yang disangkakan JPU KPK.

JPU Kembali hadirkan Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman, Kadis PUTR Sulsel Rudy Djamaluddin, Syamsul Bahri (Pemprov), Edy Putra Jaya (PPK) dan Jumras Eks Kabiro PBJ Sulsel untuk diperiksa sebagai saksi.

Sebelum memberikan kesaksian, para saksi diminta bersumpah di bawah kitab suci agama dianutnya, hakim meminta mereka untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya.

Keterangan saksi mengungkap fakta baru, tuduhan yang dialamatkan ke Nurdin dan keluarga Nurdin terkait intervensi proyek di lingkup Sulsel sekaligus membantah fakta sidang sebelumnya.

“Sebagai bagian dari tim pengawasan saya tidak pernah dengar ada intervensi dari NA atas tender, termasuk intervensi melalui keluarganya,” Andi Sudirman bersaksi.

“Tidak pernah. Tidak pernah ada kontraktor disebut-sebut, cuma pekerjaan. Beliau biasanya mengingatkan saya kalau ada keluhan harus cepat tanggap,” Terang Kadis PUTR Sulsel Rudy Djamaluddin saat ditanya JPU terkait arahan khusus Nurdin di beberapa proyek.

Sementara Syamsul Bahri yang berstatus mantan Kabid Kesehatan Hewan di Dinas Peternakan Sulsel menerangkan adanya komunikasi antara dirinya dengan Lies (Istri Nurdin).

“(Karaeng) Mega yang menghubungi saya untuk menghadap ke Bu Lies, istri Nurdin Abdullah. Kami bertemu di rumah dinas,” ujar Syamsul.

Lies meminta bantuan ke tempat Syamsul bekerja untuk memperhatikan proposal kelompok ternak dari kabupaten di Sulawesi Selatan. Kabupaten yang dimaksud adalah Kabupaten Tana Toraja, Soppeng, Maros, Wajo, Enrekang, dan Bone.

Namun saat itu, anggaran di Dinas Peternakan Sulsel tidak mencukupi. Lies kemudian meminta Syamsul untuk menghadap Kepala Bappeda yang saat itu dijabat Junaedi.

“Sampai sekarang juga tidak terealisasi itu proposal karena tidak ada uang. Waktu itu saya langsung sampaikan ke Bu Mega bahwa saya sudah koordinasi dengan Pak Junaedi dan tidak ada lagi anggaran,” tutupnya.

Saat diberi kesempatan untuk memberi tanggapan, Nurdin Abdullah membantah jika proposal disebut berasal dari tim suksesnya.

“Setelah saya terpilih menjadi Gubernur Sulsel, tidak ada lagi tim sukses. Semua masyarakat punya hak. Termasuk Istri saya yang didatangi kelompok tani dan diberikan proposal. Namanya proposal harus kita sampaikan,” tegasnya.

“Yang mulia memang banyak proposal yang selalu dibawa ke kantor atau ke rumah dinas. Karena Provinsi Sulsel kita dorong menjadi lumbung daging nasional,” tambah Nurdin Abdullah.

Hakim Ketua, Ibrahim Palino pun menganggap pemberian proposal dari kelompok tani tersebut adalah hal yang wajar dilakukan.

“Iya Pak Nurdin normatif saja yah karena saya rasa memang kalau ke kampung-kampung banyak rakyat yang ingin mendapat bantuan dari pemeritah termasuk disodorkan proposal, yang jelaskan anggarannya ada dan sesuai target, kita beri yang butuh jangan sampai yang tidak butuh yang kita bantu,” jelas Ibrahim Palino.

Usai persidangan, Penasihat Hukum (PH) NA, Arman Hanis juga menilai pemberian proposal dari masyarakat adalah hal yang wajar. Ia sependapat dengan Hakim Ketua, Ibrahim Palino.

“Kata Syamsul Bahri proposal itukan tidak berjalan juga karena tidak ada anggarannya. Dalam hal ini tidak ada pemaksaan (intervensi) sama sekali dan itu normal saja,” tutup Arman Hanis.

Sebelumnya, Nurdin dalam dakwaan JPU diduga akan menerima suap senilai SGD 150.000, dan Rp.2,5 Miliar dari terpidana Agung Sucipto (AS) melalui terdakwa Edy Rachmat, eks Sekretaris PUTR Pemprov Sulsel.

Atas Dugaan perbuatan tersebut, Nurdin didakwa telah melanggar Pasal 12 huruf A Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana Juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHPidana.

Atau dialternatifkan karena juga diduga telah melanggar Pasal 11 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana Juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHPidana. (*)