Kedua, transformasi kebijakan affirmasi politik agar tidak hanya berbasis pada etnis dimana selama ini dikenal dengan konsep affirmasi bagi Orang Asli Papua (OAP), menjadi affirmasi kepentingan masyarakat Papua. Etnisitas sebagai basis affirmasi harus ditransformasikan dalam konsep affirmasi yang lebih luas terutama menyangkut kepentingan hak-hak dasar masyarakat Papua yang multicultural atas akses kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.
Ketiga, perlu sistem penyelenggaraan keuangan daerah yang lebih akuntabel dan transparan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance dalam tata kelola dana Otsus.

Hal ini perlu belajar dari pengalaman tata kelola dana desa yang partisipatif, transparan dan akuntabel. Selama ini, dana Otsus Papua kerap menjadi “bancakan” elit lokal Papua dan tidak mengalir menjadi alokasi pembangunan prioritas bagi masyarakat Papua. Karena itu, kelemahan tata kelola keuangan daerah yang bersumber dari Otsus Papua perlu untuk diadopsi dalam revisi UU Otsus Papua.

Keempat, revisi UU Otsus Papua perlu menentukan prioritas dan target yang terukur, serta limitasi waktu penyelenggaraan Otsus. Hal ini penting sebagai pijakan bersama untuk mengukur sejauh mana kebijakan yang diterapkan tepat dan mencapai sasaran bahwa ketiadaan indikator yang terukur membuat alokasi Otsus Papua tidak memiliki sasaran yang bisa dinilai secara kualitatif maupun kuantitatif.

Kelima, aturan penyelesaian dan peranan pemerintah daerah dalam penanganan konflik sosial. Selama ini pemerintah daerah kerap lepas tangan dan tidak mengambil peranan yang memadai dalam pencegahan dan penanganan konflik sosial di daerahnya sebagai bagian dari pemerintahan nasional.(*)