Perdagangan internasional berkontraksi, terutama ekspor yang turun pada kisaran minus 14 %- minus 15,6 %. Sementara itu, sektor investasi yang selama ini berkontribusi sekitar 33,08% pada pertumbuhan ekonomi, juga merosot tajam hanya tumbuh sekitar 1 %, dan disusul berhentinya ribuan pabrik yang berpotensi menimbulkan gelombang PHK massal dan runtuhnya sektor industri nasional.

Situasi ekonomi yang memburuk ini jelas akan menimbulkan dampak domino pada sektor lain, terutama sosial dan politik. Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto memperkirakan angka kemiskinan naik dari 9,15% menjadi 9,59% (15/4/20).

Bagi masyarakat dengan struktur pendapatan yang rendah sangat rentan menghadapi krisis dan sulit mengakses kebutuhan esensial seperti energi, kesehatan, pendidikan dan bahan pokok.

Jika disparitasnya terlalu tajam dan tidak ada kebijakan jaring pengamanan sosial yang efektif, hal ini bisa menjadi komoditas politik dan memicu gejolak sosial. Secara politik, persoalan ekonomi dan sosial yang timbul dan berpotensi mengarah pada krisis ini akan menimbulkan apa yang disebut Fukuyama (2011) sebagai political decay atau goncangnya tatanan politik.

Langkah Antisipasi saat ini pemerintah telah menerapkan protokol kesehatan dengan Keppres No. 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional, dan protokol manajemen krisis sektor keuangan melalui Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Hal ini diikuti langkah realokasi anggaran sebesar Rp. 405,1 T untuk menangani wabah Covid-19, dengan rincian sektor kesehatan Rp. 75 T, jaring pengamanan sosial Rp. 110 T, pemulihan ekonomi nasional Rp.150 T, dan Rp. 70,1 T untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR. Langkah ini dapat dipahami sebagai antisipasi pemerintah terhadap kemungkinan terburuk yang dapat terjadi akibat pandemi Covid-19. Meski demikian.