“Maknanya adalah TNI/Polri aktif cuman dapat di isi pada 10 instansi pusat yang telah ditentukan secara rigit sesuai UU TNI dan UU Polri, yang dimaksud dengan Instansi Pusat adalah kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural, diluar itu tidak terdapat alasan yuridis, dan tidak dapat juga ditafsirkan dengan pendekatan analogi, artinya rumusan UU maupun putusan MK dalam perkara a quo telah memenuhi prinsip-prinsip yang bersifat “Lex scripta” artinya telah tegas tertulis, “Lex certa” artinya rumusan kontennya telah jelas, dan “Lex stricta” artinya rumusan kaidahnya sangat tegas tanpa ada analogi, sehingga sangat sulit untuk membangun suatu tafsir yang lebih ekstensif selain dari makna sejati yang telah ditetapkan MK itu, misalnya mencoba untuk mengelompokan jabatan penjabat dalam bingkai oleh karena sebagai Pimpinan Tinggi Madya/Pratama, jadi dibolehkan dengan titel karena telah menempati jabatan JPT, padahal UU organik yang mengatur TNI-Polri telah tegas menolak itu, kalaupun dibolehkan tetapi harus dibaca dalam bingkai ke-10 jabatan pusat itu, tidak lebih dari itu,” jelas Fahri.

Menurutnya, dalam hal prajurit aktif tersebut akan menduduki jabatan-jabatan tersebut harus didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen (kementerian) dan lembaga pemerintah nondepartemen dimaksud.

“Bacaanya adalah ke-10 lingkungan jabatan pada instansi pusat itu,” sambungnya.

Terdapat sedikit keteledoran dalam merumuskan kebijakan penunjukan Penjabat kepala daerah, yaitu dengan tidak menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, bertanggal 20 April 2022, yang mana ini merupakan mandat konstitusional yang dikirimkan kepada pemerintah.

Hakikatnya pertimbangan hukum putusan MK itu, selain sebagai perintah konstitusional karena berisi pertimbangan filosofis maupun yuridis, disamping itu juga secara teknis kepemerintahan hakikatnya adalah sebuah “guidance” dalam mengantisipasi bernagai “complicated” yang akan timbul sekaligus untuk mengeleminir hal-hal teknis yang secara mitigatif dapat muncul di kemudian hari, pertimbangan MK antara lain :