Fahri Bachmid mengatakan, bahwa mendasarkan pada pertimbangan hukum MK dalam perkara nomor : Nomor 15/PUU-XX/2022 tersebut sebagaimana terdapat dlm hal : 50, angka 3.13.3, maka terdapat rumusan kaidah sekaligus mengidentifikasi beberapa kekeliruan dalam mengambil kebijakan penunjukan penjabat kepala daerah dari unsur TNI.

Dalam penjelasannya, Fahri mengatakan, ASN diisi dari Pegawai ASN dan Jabatan ASN “Tertentu” dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Pada prinsipnya Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada Instansi “Pusat” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002) [vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/2014].

Jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 34/2004 ditentukan pada pokoknya prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

“Maknanya adalah Lingkungan jabatan publik apa saja, baik pada tingkat pusat maupun daerah tidak dilarang, oleh karena status aktif sebagai prajurit telah di nonaktifkan, sehingga yang bersangkutan berhak untuk menduduki jabatan-jabatan itu, sepanjang memenuhi syarat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ungkap Fahri.

Sementara itu, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi :
a. Koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara; b. Pertahanan Negara; c. Sekretaris Militer Presiden; d. Intelijen Negara; e. Sandi Negara; f. Lembaga Ketahanan Nasional; g. Dewan Pertahanan Nasional; h. Search and Rescue (SAR) Nasional; i. Narkotika Nasional; dan j. Mahkamah Agung RI.