Menurutnya, ada rencana judicial review ke MK atau melakukan gugatan ke PTUN jika omnibus law dibahas tanpa partisipasi publik, sebab itu berarti pemerintah memaksakan maka akan dilakukan judicial review ke MK.
Elly Rosita Silaban menilai, Omnibus Law dapat mengatur sinkronisasi regulasi antar kementerian, pengaturan berbagai aturan yang mengatur satu bidang yang sama tapi pengaturnya beda-beda.

Mengatur dalam satu pintu sehingga menjadi sederhana dan ringkas, tapi membahayakan bagi tenaga kerja. “Formulanya dirubah agar industri lebih mudah masuk untuk berinvestasi termasuk menghapus upah minimum kabupaten dan kota serta upah sektoral. Upah minimum akan dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi daerah, ini akan lebih buruk karena sebelumnya upah minimum menggunakan formula pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI, red) ini.

Menurut Rosita, pemerintah harus berhati-hati dalam berinvestasi di sektor kelautan dan perikanan. Saat ini saja tekanan terhadap 3 ekosistem utama pesisir yaitu terumbu karang, padang lamun dan mangrove sdh sangat besar. Dalam pasal Omnibuslaw banyak permasalahan misalnya defenisi nelayan, sentralisasi perijinan, dan penghapusan sanksi pidana dan denda diganti dengan sanksi administrasi.
“Omnibus Law itu menyederhanakan regulasi sekaligus menyengsarakan terbukti dari beberapa pasal yang merugikan buruh,” tegasnya seraya menambahkan, tidak ada kesepakatan antara NGO, BEM dan elemen buruh untuk melakukan aksi bersama di Medsos atau mendatangi DPR menolak Omnibus Law. “Yang ada dilakukan masing-masing organisasi serikat buruh di media sosial, release pers dan kampanye internasional,”ujarnya.

Kemudian, Jumisih menilai Pemerintah sudah terlalu sering berjanji. Dulu PP 78/2015 juga berjanji untuk menarik investasi, ternyata tidak terbukti. “Koordinasi antara buruh, NGO dan BEM masih terus berlangsung untuk memprotes atau menolak Omnibus Law, harus terus berjalan, dengan segala keterbatasan yang ada.