MERAUKE — Setelah 20 tahun menunggu, pemekaran provinsi Papua Selatan bakal menjadi kenyataan.

“Ini merupakan hadiah bagi masyarakat Papua Selatan khususnya Merauke, Asmat, Boven Digoel dan Mappy,” ungkap Ketua DPRD Kabupaten Merauke, Ir Drs Benjamin I.R. Latumahina kepada media ini, Kamis (30/6/2022).

Diakuinya, sampai sekarang memang ada yang pro dan kontra terkait soal pemekaran daerah ini.

‘Mungkin warga di Papua Selatan tidak se ekstrim wilayah tengah atau bagian pegunungan. Tetapi tetap perlu antisipasi kemungkinan adanya depopulasi dan marginalisasi, bagi warga asli Papua,” ujar Benjamin.

Hal ini, katanya, yang sering diungkapkan oleh mereka ketika pemekaran sekarang terealisasi. Mereka bertanya-tanya mau jadi apa, mau kemana, dan harus apa?

Sebenarnya dalam beberapa kali pertemuan, pertanyaan pertanyaan itu mereka lontarkan, karena memang mereka merasakan.

Hal ini menyangkut masalah kesejahteraan, sehingga menjadi keluhan dan pertanyaan bagi warga di Papua Selatan.

“Keluhan ini kemudian juga meningat menjadi satu ketakutan yang harus direspon oleh pemerintah,” katanya.

Terkait masalah penetapan Ibukota Provinsi Papua Selatan, di Merauke, menurutnya, hal itu sudah melalui satu kajian akademik, dan sudah masuk dalam draft rancangan Undang-Undang.

“Bagaimana prosentasinya tentang fasilitasi, tentang wilayah, prasarana ini menjadi poin tersendiri,” tuturnya.

Kemudian, sambungnya, sejarah kota Merauke juga merupakan sejarah panjang kota tertua dan kota bersejarah. Merauke juga menjadi kota induk untuk memekarkan Asmat, Boven Digoel dan Mappy.

Berikut, lanjutnya, yang perlu dikaji adalah regulasi tentang populasi untuk menjawab masyarakat. “Besok pasti akan terjadi migrasi besar besaran, orang luar akan masuk ke Papua Selatan terutama,” tandasnya.

Sehingga, kata Benjamin, kita harus proteksi dengan beberapa regulasi untuk mengatur. Sehingga kesempatan seluas luasnya diberikan kepada orang asli Papua. “Maka pertanyaan mereka tentang Papua Selatan bisa terjawab,” ujarnya.