Jakarta – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo membeberkan alasan bank sentral mempertahankan suku bunga 7-day Reverse Repo Rate (BI-7DRR) 3,5 persen.

Keputusan BI tersebut dilatari asesmen dan proyeksi inflasi ke depan dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

“Keputusan suku bunga BI Rate didasarkan pada inflasi ke depan, khususnya inflasi inti dan implikasinya pada pertumbuhan ekonomi,” kata Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada Kamis, 21 Juli 2022.

Perry mengatakan, dalam konteks ini, BI membedakan inflasi indeks harga konsumen (IHK) dengan inflasi inti. Pada Juni 2022, inflasi IHK memang mencapai 4,35 persen, namun inflasi inti sebesar 2,63 persen.

“Inflasi inti adalah inflasi yang mencerminkan antara keseimbangan permintaan dan penawaran di dalam ekonomi nasional,” katanya.

Menurut Perry, inflasi inti sebesar 2,63 persen menunjukan bahwa walau meningkat, permintaan dalam negeri tetapi terpenuhi karena kapasitas produksi nasional mencukupi.

“Di sinilah kenapa tekanan-tekanan inflasi dari fundamental yang tercerminkan pada inflasi inti masih terkelola,” kata Perry.

Adapun inflasi IHK sebesar 4,35 persen terdorong oleh kenaikan harga pangan atau volatile food, dampak harga komoditas pangan global yang tinggi, dan gangguan mata rantai pasokan.

“Bulan lalu inflasi volatile food mencapai lebih dari 10 persen,” tuturnya.

Perry menjelaskan sumber kenaikan inflasi IHK terutama berasal dari harga pangan yang naik karena dampak ekonomi global dan meningkatnya tarif energi yang tidak disubsidi. Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Kamis sore kembali mempertahankan suku bunga acuan pada level 3,5 persen.

Bank Indonesia juga mempertahankan deposit facility sebesar 2,75 persen dan suku bunga lending facility 4,25 persen. Perry mengatakan keputusan tersebut konsisten dengan perkiraan inflasi inti yang masih terjaga di tengah risiko dampak perlambatan ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri.