JAKARTA – Setelah digratiskannya pungutan ekspor untuk minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) beserta turunannya hingga 31 Agustus 2022 mendatang oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berpotensi untuk kehilangan pendapatan sebesar Rp11,5 triliun hingga Rp16,8 triliun.

Baca Juga : Percepat Pemulihan Ekonomi, OJK Bersama Kemenkeu-BUMN Dorong Penguatan Corporate Governance

 

Kebijakan itu tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103/PMK.05/2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kemenkeu.

Plt Direktur Kemitraan BPDPKS, Kabul Wijayanto mengatakan bahwa pendapatan kurang lebih Rp11,5 triliun sampai Rp16,8 triliun akan hilang yang seharusnya diterima sesuai pengaturan tarif pada PMK yang lama.

“Kurang lebih Rp11,5 triliun sampai Rp16,8 triliun potensi pendapatan yang harusnya bisa diterima dengan PMK pengaturan tarif yang lama akan hilang,” ungkapnya dilansir dari CNNIndonesia.com.

Namun, Kabul menjelaskan dana BPDPKS untuk membiayai berbagai program masih cukup. Ia mengatakan dana belanja BPDPKS juga berkurang karena tidak memberikan dana insentif untuk biodiesel selama Juli hingga September 2022 karena harga minyak dunia yang lebih tinggi dari harga CPO.

“Kenaikan harga minyak mentah dunia yang lebih tinggi dari harga CPO yang sebagian kontribusi untuk pendanaan biaya biodiesel. Oleh karena itu, beberapa bulan ini, BPDPKS tidak memberikan insentif untuk program itu karena memang harga indeks pasar solar lebih tinggi dibanding di pasar biodiesel,” jelas Kabul.

Ia juga mengatakan BPDPKS juga berkomitmen untuk mengalokasikan dana untuk pendirian pabrik kelapa sawit di 2023 sesuai dengan usulan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian. Kabul memastikan dana untuk program tersebut tidak akan terganggu dengan penghapusan tarif ekspor kelapa sawit.