“Kedua, Keputusan MPR Nomor 8/MPR/2019 merekomendasikan kepada MPR Periode 2019-2024 untuk mengkaji substansi dan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara, termasuk membangun konsensus politik dalam penetapan bentuk hukumnya. Kedua rekomendasi tersebut terlahir sebagai respon dari aspirasi masyarakat yang menghendaki sistem pembangunan berkelanjutan jangka panjang model GBHN, yang disuarakan antara lain oleh forum akademis (Forum Rektor dan LIPI), organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, dan organisasi keagamaan,” ujar Bamsoet dalam Wawancara khusus dengan VIVA News program “The Interview”, di Jakarta, Sabtu (30/7/22).

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, berdasarkan hasil kajian Badan Pengkajian MPR RI, bentuk hukum yang paling ideal dari PPHN adalah Ketetapan MPR. Bukan diatur dalam UUD, karena akan sulit dilakukan perubahan untuk menyesuaikan dengan dinamika zaman. Bukan pula melalui undang-undang karena haluan negara seharusnya memiliki pijakan legalitas yang kuat, tidak mudah diajukan judicial review atau ‘diterpedo’ dengan PERPPU.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, Badan Pengkajian MPR RI setelah bekerja selama kurang lebih 2 tahun 9 bulan sejak dibentuk pada Oktober 2019, melalui rapat-rapat pembahasan, diskusi, seminar, focus group discussion, penyerapan aspirasi masyarakat dan kerjasama dengan perguruan tinggi, serta melibatkan para pakar ahli, praktisi, serta akademisi, menyampaikan laporan hasil kajiannya kepada Pimpinan MPR dan Pimpinan Fraksi/Kelompok DPD pada tanggal 25 Juli. Menurut Badan Pengkajian MPR, idealnya PPHN masuk dalam TAP MPR melakui amandemen terbatas.

“Namun melihat dinamika politik yang berkembang, perubahan terbatas UUD tersebut sulit untuk direalisasikan, sehingga disepakati untuk menghadirkan PPHN tanpa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi mengupayakan melalui Konvensi Ketatanegaraan. Penerapan konvensi ketatanegaraan adalah hal yang lazim dalam kehidupan negara-negara demokratis. Konvensi hadir sebagai rujukan hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan, serta mengisi kekosongan hukum formil yang baku,” terang Bamsoet.