Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman September naik US$3,38 atau 3,7 persen menjadi US$93,74 per barel.

Kedua, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah. Fabby mengatakan kenaikan harga minyak mentah global bisa semakin parah jika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS anjlok.

Pasalnya, nilai rupiah akan semakin murah ketika mata uang Garuda itu keok di hadapan dolar AS. Oleh karena itu, Pertamina atau pengimpor lain otomatis perlu mengeluarkan uang rupiah lebih banyak untuk membeli minyak dari luar negeri.

Ketiga, biaya transportasi atau logistik. Keempat, ongkos operasional kilang.

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan subsidi energi bisa membengkak Rp198 triliun menjadi Rp700 triliun jika harga pertalite dan solar tak naik.

Tambahan dana itu dibutuhkan untuk menambah kuota pertalite dari 23 juta kiloliter (kl) menjadi 29 juta kl.

Data Pertamina menunjukkan penyaluran pertalite telah mencapai 16,8 juta kl pada akhir Juli 2022.

Dengan demikian, kuota pertalite hanya tersisa 6,25 juta kl sampai akhir tahun.

Sementara, penyaluran solar telah mencapai 9,9 juta kl hingga Juli 2022. Alhasil, sisa kuota solar hanya tersisa 5,2 juta kl dari total kuota 15,1 kl.

Jika tak ditambah, kuota akan habis sebelum akhir 2022. Hal ini berpotensi memicu keresahan di masyarakat.