Seperti yang kita ketahui, pendidikan merupakan jembatan mencerdasarkan generasi bangsa, dan berperan penting dalam kemajuan suatu negeri. Selain itu, jika kita mengacu pada amanat UUD 1945, mengatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan.

Namun bukan rahasia lagi, biaya pendidikan menjadi faktor kuat banyaknya masyarakat berlatar belakang ekonomi menengah kebawah tidak bisa merasakan pendidikan bangku sekolah.

Tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa pendidikan hari ini sudah menganut paham liberalisasi.
Dalam sistem ini, sitiap individu memiliki hak mutlak untuk mengelola aset yang ia miliki untuk mendapatkan manfaat/keuntungan sebesar-besarnya.

Sistem ini juga memungkinkan setiap orang untuk memelih pekerjaan atau usaha sesuai dengan kehendaknya. Pemerintah tidak memiki hak untuk melakukan intervensi.

Jiak kita mengamati pidato HARDIKNAS 2017 di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, menekankan tema pendidikan adalah “meningkatkan relevansi pendidikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi,” Nasir melanjutkan dengan mengusulkan bahwa esensi dari pendidikan tinggi adalah untuk menghasilkan lulusan dan penelitian yang bermanfaat bagi industri indonesia. Definisi sempit inilah yang tertatanam dalam kesadaran mayoritas masyarakat Indonesia. Pernyataan seperti ini bisa melahirkan beragam persepsi masyarakat, dan wajar saja jika saya mengatakan beberap masyarakat akan berpikir bahwa pendidikan hadir hanya untuk membetuk karakter karakter individualis dan cuma melahirkan output yang hanya sibuk memikirkan kecemasannya ketika lulus ingin menjadi di dunia kerja.

Tetapi apa yang memprihatinkan dari semua ini, mahalnya biaya pendidikan seakan menghadirkan kelas di tatanan sosial antara si mampu dan yang tidak mampu.

Data UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Begitupula data statistik yang dikeluarkan oleh BPS, bahwa di tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling rentan yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.

Benarkah ini karena faktor ekonomi atau sistem yang tidak berpihak pada mereka?

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, mengumumkan hasil penelitian Hasil Bantuan Siswa Miskin Endline di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Ada temuan menarik.

Sebanyak 47,3 persen responden menjawab tidak bersekolah lagi karena masalah biaya, kemudian 31 persen karena ingin membantu orang tua dengan bekerja, serta 9,4 persen karena ingin melanjutkan pendidikan nonformal seperti pesantren atau mengambil kursus keterampilan lainnya.

Mereka yang tidak dapat melanjutkan sekolah ini sebagian besar berijazah terakhir sekolah dasar (42,1 persen) maupun tidak memiliki ijazah (30,7 persen). Meski demikian, rencana untuk menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ternyata cukup besar, yakni 93,9 persen. Hanya 6,1 persen yan menyatakan tidak memiliki rencana untuk itu.

Peneliti PSKK UGM, Triyastuti Setianingrum, mengatakan dalam Focused Group Discussion, pendidikan merupakan investasi modal manusia (human capital investment) dan pemerintah harusnya memberi perhatian yang sungguh terhadap hal ini, terlebih dalam merespons perubahan komposisi demografi.

Tingginya angka penduduk usia kerja hanya akan menjadi bonus (window of opportunity) apabila penyediaan kesempatan kerja sudah sesuai dengan jumlah penduduk usia kerja serta ditopang oleh kualitas angkatan kerja yang baik.

Triyas menambahkan, seperti siklus, kasus anak putus sekolah saling mempengaruhi satu sama lain dengan persoalan kemiskinan. Putus sekolah mengakibatkan bertambahnya jumlah pengangguran, bahkan menambah kemungkinan kenakalan anak dan tindak kejahatan dalam kehidupan sosial masyarakat. Begitu seterusnya karena tingkat pendapatan yang rendah, ( sumber: CNN INDONESIA).

Menurut saya, harus ada perhatian serius dari pemerintah seperti:

Pendidikan murah bahkan gratis

Diketahui bersama pendidikan merupakan elemen penting untuk membangun masyarakat di dalam sebuah negara. Namun, di Indonesia, belum semua masyarakat mampu mengakses pendidikan yang terjangkau. Padahal, sudah menjadi kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan yang murah, bahkan gratis di Indonesia sesuai amanah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31. Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Reni Marlinawati, mengatakan dalam undang-undang disebutkan pemerintah wajib membiayai pendidikan warga negaranya.

“Sekolah gratis bukan sesuatu yang harus diminta masyarakat karena itu sudah menjadi hak. Di era Jokowi sekarang dicanangkan program Wajib Belajar 12 tahun hingga SMA. Untuk sekolah negeri saat ini sudah gratis tapi memang masih ada persoalan di masyarakat terkait adanya pungutan biaya lain di sekolah,” ujarnya seperti yang dikutip mediaindonesia.com Senin (1/5/2017).

Secara konseptual dan regulasi sesungguhnya masyarakat berhak memperoleh pendidikan gratis. Pungutan yang terjadi di sekolah, menurutnya, karena implementasi kebijakan yang tidak sesuai ketentuan.

Konsistensi kurikulum yang jelas, sebagaimana kita tahu kurikulum telah berganti sebanyak 11 kali

Kalian pastinya sudah tidak asing lagi dengan apa yang disebut kurikulum atau sebuah program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga pendidikan yang berisi tentang rancangan pembelajaran. Jika kamu ingat kembali masa-masa sekolah, mungkin kamu dibingungkan dengan kurikulum yang berganti-ganti. Lalu sebenarnya sudah berapa kali Indonesia berganti kurikulum?
Seperti yang dikutip brilio.net (2/5/2015) dari kemendikbud.go.id ternyata selama ini Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak 11 kali, terhitung sejak Indonesia merdeka. Yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan 2015.

Pemerintah harus kembali bertanggung jawab secara penuh dalam sektor pendidikan, sebagaimana yang kita tahu hadirnya RUU BHP yang merubah status pendidikan milik publik kebentuk badan hukum yang menyebabkan konsekuensi ekonomi. RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Penulis: Adi Novriansyah (Mahasiswa Politeknik ATI Makassar)

YouTube player