RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno menyoroti kerawanan di perlintasan sebidang, yang mengakibatkan kecelakaan maut terus berulang.

Dikarenakan, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 94 menyebutkan pemerintah atau Pemerintah Daerah (Pemda) seharusnya menutup pelintasan sebidang yang tak berizin.

“Jika jalan nasional, wewenangnya ada di pemerintah pusat. Begitupun jalan provinsi dan kabupaten,” kata Djoko kepada Rakyat News, Senin (11/12/2023).

Ia menilai, pemerintah pusat dan daerah idealnya menutup pelintasan sebidang yang rawan kecelakaan. Namun, pemerintah juga bisa menyediakan jalan layang atau underpass agar pengendara tidak melintasi jalur itu lagi.

Yang perlu dipahami, kata Djoko, pengguna jalan juga harus waspada. UU No 23/2007 tentang Perkeretaapian dan UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mewajibkan pengendara berhenti ketika sinyal kereta sudah berbunyi dan palang pintu kereta api tertutup.

“Akhir-akhir ini banyak kejadian kecelakaan di perlintasan sebidang pada malam hari. Dan lokasi berada di perdesaan. Pelintasan sebidang banyak bermunculan seiring meluasnya kawasan permukiman ke desa-desa,” ungkapnya.

“Dan kehidupan sudah 24 jam, tidak bisa lagi pintu perlintasan dijaga hanya pada jam tertentu saja. Kalau malam tidak dijaga, sehingga pelintas kurang mengetahui, karena tidak mau memperhatikan keberadaan rambu dan marka. Sebaiknya perlintasan yang dijaga 24 jam, jika tidak ada penjaga sebaiknya jalur perlintasan sebidang itu ditutup dengan memasang palang penutup,” kata Djoko.

Sebagai informasi, berdasarkan data PT KAI (2023), data perlintasan sebidang berjumlah 3.693 lokasi yang terdiri dari perlintasan dijaga 1.598 lokasi (dijaga jalan jembatan 466 lokasi, dijaga operasi 490 lokasi, dijaga Dishub 291 lokasi, dijaga oleh masyarakat 351 lokasi. Sementara perlintasan tidak dijaga sebanyak 2.095 lokasi, terdiri dari resmi tidak dijaga 1.132 lokasi dan liar 963 lokasi.