Ansar juga menyoroti pengakuan sejumlah pihak dalam rekaman yang menyebut ada grup WhatsApp para CPNS yang di dalamnya ada dekan. “Nah, inikan juga bisa jadi petunjuk. Grup WA (WhatsApp) itu kita duga banyak terdapat bukti-bukti percakapan soal setoran CPNS. Itu juga diungkap sendiri oleh penerima setoran,” tandas Ansar.

“Dalam perspektif hukum saya rasa petunjuknya terpenuhi. Ada pemberi, ada penerima. Di sana juga sudah ada pengakuan. Artinya dugaan adanya pungli sangat jelas. Tinggal bagaimana penyidik melakukan pengusutan siapa-siapa yang terlibat di dalamnya dan mengurai peran masing-masing pihak,” papar Ansar.

Mulyadi menduga hal ini adalah tradisi yang sudah berlangsung lama. “Itu kan jelas dalam rekaman bahwa dari tahun ke tahun ada kenaikan nilai setoran,” katanya.

“Semua ini bisa dibongkar penyidik dengan petunjuk yang ada,” lanjutnya.

Secara hukum, kata Mulyadi, pungli memang memenuhi unsur beberapa pasal dalam UU Tipikor, mulai dari UU gratifikasi, suap, hingga pada pemerasan, tergantung pada perbuatan pidana yang kemudian dilakukan pada masing-masing perkara, dan sebelum terdapat istilah pungli, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengidentifikasi transaksi ilegal ini di beberapa istilah, antara lain pemerasan (Pasal 368), gratifikasi atau hadiah (Pasal 418), serta tindakan melawan hukum serta menyalahgunakan wewenang (Pasal 423).

Mulyadi menyebut, dugaan pungli yang terjadi di UNM dapat dikategorikan sebagai pemerasan apabila oknum pelaku secara aktif menawarkan jasa atau meminta imbalan dengan maksud agar dapat membantu mempercepat tercapainya tujuan si CPNS.

Sehingga pungli terjadi jika kemudian pengguna jasa layanan memberikan sesuatu kepada pemberi jasa layanan tanpa adanya penawaran, terjadinya deal atau transaksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang diinginkan.