makassar – Mendengar kata “Stunting” di sebagian masyarakat ada yang menganggap kondisi ini normal, mengingat tumbuh kembang anak tidak menjadikannya bodoh. Bahkan orang pendek pun bisa sukses hingga menjadi presiden di masa yang akan datang.

Namun bagi sebagian masyarakat lainnya, ini adalah sebuah aib yang tidak seharusnya dibahas apabila berada di lingkungan masyarakat. Hingga akhirnya mereka tertutup dan berusaha diam dan tidak peduli pada kondisi anak mereka.

Stunting menjadi salah satu masalah utama yang perlu menjadi perhatian masyarakat, ini dikarenakan kondisi anak yang kurang terpenuhi gizinya. Kurangnya pemahaman dan perhatian masyarakat akan hal ini. Pada akhirnya, generasi yang lahir setiap tahunnya akan tumbuh kembang terhambat.

Makanan bergizi tidak identik dengan harga mahal. Kebutuhan gizi seperti protein, bisa didapatkan dari mengonsumsi telur ayam, tempe, tahu, ikan, atau lainnya. Sedangkan vitamin dan mineral bisa didapatkan dari mengonsumsi, buah-buahan seperti jeruk, mangga, pepaya, tomat, hingga pisang. Selain itu, mengonsumsi sayuran hijau seperti bayam dan kelor juga sangat bermanfaat untuk pemenuhan gizi.

Sayangnya, tren makanan kemasan dan jajanan berbahan tidak sehat sangat populer dan justru lebih disukai masyarakat khususnya remaja perempuan dan ibu-ibu. Tidak jarang anak-anak pun diberi makan yang sama karena kepraktisannya.

Hal ini pun menjadi salah satu pertimbangan Puskesmas Pacellekang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Puskesmas ini berencana untuk memberdayakan masyarakat melalui inovasi “Kedai Herbal Berbasis Riset Jago (Jamunya Gowa)”

Sederhananya masyarakat akan diedukasi untuk menanam tanaman herbal yang nantinya akan dibeli oleh pihak Puskesmas, sehingga masyarakat berpikir ini adalah peluang penghasilan baru bagi mereka. Hal ini dilakukan dalam usaha untuk mencarikan alternatif pengobatan yang lebih aman dan minim risiko dibandingkan dengan obat kimia yang akan berdampak pada tubuh dalam jangka panjang.

Kepala Puskesmas Pacellekang, Gandi Iswanto mengatakan, ada tiga tahapan yang akan dilakukan pihaknya. Pertama membeli produk basah, kedua membeli produk olahan kering, ketiga membeli produk olahan serbuk dan terakhir produk masyarakat akan dipasarkan oleh pihak Puskesmas.

“Selain memberdayakan masyarakat, stunting kebanyakan terjadi pada anak yang berada di kondisi ekonomi menengah ke bawah. Mulanya dengan adanya kegiatan ini, minimal kesejahteraan mereka bisa tersentuh sehingga diharapkan gizi mereka tercukupi,” kata Gandi.

Berbeda dengan puskesmas lain di Kabupaten Gowa, Puskesmas Pacellekang mencoba menerapkan bekerja dengan berdasar riset untuk mencarikan solusi tambahan dalam penanganan kasus Stunting dan masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat.

Dinilai sosialisasi melalui pendekatan program kepada masyarakat kurang optimal, lahirnya puskesmas berbasis riset ini kemudian bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi di Sulawesi Selatan. Hingga akhirnya menemukan salah satu solusi tambahan dalam mengatasi masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat terutama untuk penanganan anak stunting.

Berdasarkan hasil telaah jurnal riset yang mereka dapatkan, konsumsi kelor 2 gram sehari selama 30 hari berturut-turut dapat meningkatkan indeks berat badan anak seberat 0,48 kg. Hal ini menjadi pemicu bagi Gandi bersama pihaknya untuk terus mengembangkan sayuran kelor sebagai salah satu pangan alternatif pada masyarakat desa panaikang terutama ibu-ibu yang mempunyai anak stunting.

Beberapa hasil telaah jurnal riset tersebut didapatkan kreasi makanan yang memikat hati untuk dikonsumsi anak stunting, seperti ice cream kelor, puding kelor, kripik kelor, dan yogurt kelor. Dari keempat produk tersebut, ice cream menjadi makanan yang dipopulari.

“Kalau dalam satu cup, anak makan ice cream 2-3 sendok itu sudah setara dengan 2 gram kelor. Bayangkan kalau anak beresiko stunting bisa konsumsi itu dalam sebulan, maka berat badan anak akan aman dari resiko stunting,” jelas Gandi.

Dengan berbasis riset inilah, solusi bisa dengan mudah ditemukan agar masyarakat mudah menerima dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Sementara melalui pendekatan program menurut Gandi, hal itu masih belum menyentuh pada masyarakat.

Sebagai contoh saat dirinya turun langsung ke lapangan, ia menganggap pada Program Pemberian Makanan Anak dan Balita (PMT) belum tepat sasaran. Biskuit anak dan balita yang diberi kepada masyarakat untuk penanganan stunting hanya dijadikan sebagai suguhan dan camilan apabila ada tamu yang berkunjung ke rumah mereka.

Diketahui di wilayah kerja Puskesmas Pacellekang, terhitung jumlah anak Stunting per Februari 2022 antara lain delapan anak di Desa Pacellekang, lima anak di Desa Je’nemadinging, dan tujuh anak di Desa Panaikang.

Dosen dan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Prof. Veni Hadju mengatakan, WHO menyatakan apabila di suatu negara angka anak Stunting lebih dari 20%, maka negara tersebut terdapat daerah yang masih belum terjangkau pelayanan secara optimal. Berarti negara tersebut belum memberikan pelayanan yang adil kepada seluruh masyarakat. Indikator tersebut di antaranya keadilan kesejahteraan. Lebih dari pada itu, mengindikasikan bahwa memberikan perhatian yang sama atau tidak bagi seluruh masyarakat, baik di tingkat dusun, desa (kelurahan), kecamatan, dan seterusnya.

“Tentu dalam hal aspek pendidikan dalam hal ini ibunya kurang berpendidikan, dalam aspek sosial, dia situ banyak orang miskin yang tidak tertanggulangi, atau pelayanan kesehatan yang tidak bisa dijangkau oleh masyarakat,” jelasnya.

Perbedaan anak pendek dan anak kurus diindikasikan kalau anak kekurangan gizi. Anak kurus dikategorikan sebagai kekurangan gisi akut atau kondisi yang terkini, kondisi yang dia kurangi saat ini. Misalnya penyakit infeksi atau kekurangan makan seperti paceklik, atau kelaparan karena akibat perang. Apabila orang tidak makan, berat badannya akan menyusut sehingga dia kurus.

Sementara tubuh pendek menunjukkan kalau orang itu kekurangan gizi kronis, artinya anak itu bisa saja makan yang seperti biasanya. Namun pendek karena kekurangan gizi yang kronis (jangka panjang), faktor yang memengaruhi misalnya saat hamil ibunya atau saat ibu masih remaja bertubuh kurus, otomatis di dalam kandungan juga anak tidak terpenuhi kebutuhan gizinya sehingga anak tersebut pendek.

Menurut Prof. Veni, sinergitas dalam upaya menurunkan angka stunting dilakukan dengan melihat daerah mana saja yang terburuk, maka program dimulai dari sana agar semuanya tepat sasaran.

“Pembangunan itu diarahkan ke daerah terpencil. Tidak seperti dulu, yang penting anggarannya habis, walaupun desa tersebut tidak terbangun. Sekarang ini justru yang dipikirkan bagaimana memanfaatkan dana terbatas ini dialokasikan ke daerah-daerah prioritas,” katanya.

Masalah lain yang biasanya terjadi di kalangan masyarakat, yakni masih ada orangtua yang merasa malu apabila ada yang mengatakan anaknya stunting. Mereka menganggap bahwa stunting adalah aib. Padahal menurut Prof. Veni, pola hidup saat pra kehamilan hingga masa tumbuh anak yang perlu diperhatikan gizinya.

“Kurang terbuka dan sedikitnya pemahaman tentang stunting masih menjadi hal tabu bagi masyarakat, sehingga mereka menganggap bahwa Stunting adalah sebuah kesalahan yang perlu untuk disembunyikan,” keluh Prof. Veni.

Mengatasi masalah ini, Puskesmas Pacellekang justru mengubah sebutan Stunting dengan terobosan kata “Es Tinting”. Hal ini untuk menghindari munculnya stigma buruk di kalangan masyarakat dan malu untuk kembali datang ke posyandu. Uniknya, istilah ini bahkan telah diterapkan di tingkat kecamatan di Pattalassang saat para kader melakukan penimbangan dan mengidentifikasi anak Stunting.

“Agar warga menganggap yang disebut adalah nama es, padahal itu istilah untuk balita atau anak stunting,” ujar Kepala Puskesmas Pacellekang, Gandi Iswanto.

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo mengatakan di tahun 2024 angka Stunting harus turun hingga 14% dari sebelumnya terhitung jumlah Stunting sekitar 24,4% pada 2019. Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, Sulawesi Selatan menunjukkan angka prevalensi 27,4% di skala provinsi.

Koordinator Program Satgas Stunting BKKBN Sulsel, Irfan J mengatakan, dari angka tersebut di level 24 kabupaten ada yang mengalami penurunan ada juga kenaikan angka. Berdasarkan data tersebut, ada enam daerah yang mengalami peningkatan angka prevalensi Stunting, yakni Kabupaten Barru pada tahun 2019 tercatat 25% di tahun 2021 meningkat menjadi 26%, Kabupaten Palopo tercatat di tahun 2019 tercatat 12% di tahun 2021 menjadi 28,5%, Bulukumba tahun 2019 28,% dan di tahun 2021 30,8%.

Sementara di Kabupaten Bone di tahun 2019 terhitung 33% kemudian di tahun 2022 menjadi 38%, Kabupaten Takalar di tahun 2019 tercatat 25% dan di tahun 2021 ada 31,7%, dan Kabupaten Maros di tahun 2019 32,6% dan di tahun 2021 37,5%.