Terkait adanya hasil visum yang menunjukkan tidak terjadi luka, Kuasa Hukum korban menganggap itu sudah sering terjadi, tetapi bukan berarti kekerasan seksual tidak dilakukan.

“Jadi soal visum yang sering kami tangani, memang ada saja surat visum yang gagal menemukan luka dalam pemeriksaan, akan tetapi bukan berarti kekerasan seksualnya terjadi. Memang dalam banyak kasus, dilakukan pemeriksaan pembanding untuk mengecek kembali kebenaran fakta kekerasan seksual terjadi atau tidak,” katanya.

Oleh karena itu, menurutnya, dalam kejadian seperti itu, dapat melakukan visum pembanding.

“Ketika misalnya tidak ditemukan dalam penyelidikan atau penyidikan, itu sangat mungkin dilakukan visum pembanding atau bisa menghadirkan ahli lain untuk meminta keterangan yang bisa membantu mengungkap peristiwa,” ujarnya.

“Jadi kami menganggap pemeriksaan kejiwaan tidak relevan. Untuk anak dan terlapor relevan. Tetapi untuk pelapor tidak relevan. Di dalam SP2HP, pemberitahuan apa rencana penyidik selanjutnya kepada si ibu bahwa dia juga akan diperiksa psikiater, ini tidak ada persetujuan dan pemberitahuan,” sambungnya.

Sebelumnya, Mabes Polri melalui Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen. Pol. Drs. Rusdi Hartono, M.Si. menggelar konferensi pers terkait Dugaan Pemerkosaan Tiga Anak, Selasa (12/10).

“Penyidik menerima surat pengaduan dari saudari RS pada tanggal 9 Oktober 2019. Isi surat pengaduan ini, yang bersangkutan melaporkan bahwa diduga telah terjadi peristiwa pidana yaitu perbuatan cabul,” katanya.

Ia menegaskan perbuatan tindak pidana yang dilakukan seorang ayah dari tiga anak bukan laporan pemerkosaan, melainkan tindak pidana pencabulan.

“Jadi bukan perbuatan tindak pidana pemerkosaan, seperti yang viral di media sosial dan perbincangan publik. Ini yang perlu kita ketahui bersama,” ujarnya.

Hal tersebut didapatkan oleh Tim dari dari Mabes Polri dan Polda Sulsel saat melakukan asistensi.