Pemateri ketiga, Taufiq Hippy, memaparkan materi bertema “Memahami Multikulturalisme dalam Ruang Digital”. Menurut dia, contoh multikulturalisme di ruang digital misalnya, perbedaan agama, pendapat, atau suku. Sejumlah risiko ketidakpahaman akan multikulturalisme, antara lain memicu ujaran kebencian, termakan isu hoaks, serta potensi hilangnya rasa persaudaraan dan unsur budaya. “Perilaku yang dapat membuat ricuh dalam dunia digital adalah mengadu domba atau mengatakan hal-hal yang tidak pantas,” tuturnya.

Adapun Grysiana Rintani Mokodompit, sebagai narasumber terakhir menyampaikan paparan berjudul “Dunia Maya dan Rekam Jejak Digital”. Ia mengatakan, jejak digital merupakan jejak data yang dibuat dan ditinggalkan saat menggunakan perangkat digital. Jejak digital sangat sulit dihapuskan, sehingga warganet harus bijak ketika berselancar di internet atau menggunakan media sosial. “Harus bijak dalam menaruh jejak, pikirkan lagi sebelum merugi. Jejak digital adalah hal yang krusial dan tidak bisa asal,” kata dia.

Setelah pemaparan materi, kegiatan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dipandu oleh Fadel Karnen. Para peserta tampak antusias dan mengirimkan banyak pertanyaan. Panitia memberikan uang elektronik masing-masing senilai Rp 100.000 bagi 10 penanya terpilih.

Salah satu peserta, Dyah, bertanya tentang upaya menghindari paparan negatif sekaligus menghadirkan konten positif bagi anak di Internet. Menanggapi hal tersebut, Retno bilang, orang tua berkewajiban untuk melek digital sehingga bisa bekerja sama dengan guru dalam mengawasi anak selama pembelajaran menggunakan media digital.