Ia juga mengungkapkan bahwa kliennya memperoleh informasi bahwa tersangka tetap berupaya melakukan proses jual beli di objek sengketa melalui kerja sama dengan seorang notaris, meski status tanah tersebut masih dalam perkara pidana.

“Kami heran, notarisnya juga sudah tahu objek ini bersengketa, tetapi tetap memproses transaksi jual beli,” lanjut Mastan.

Menurutnya, kasus pemalsuan surat ini termasuk delik murni sehingga tetap bisa berjalan meskipun laporan dicabut, jika pimpinan penyidik memandangnya penting.

“Ini bukan penyerobotan, tapi murni dugaan pemalsuan surat. Jadi kalaupun perdatanya jalan, pidananya tidak boleh berhenti,” tegasnya.

Dalam konferensi persnya, Mastan juga mempertanyakan kembali sikap penyidik yang menghentikan proses penjemputan paksa, padahal, menurutnya, semakin lama dibiarkan justru semakin banyak potensi kerugian masyarakat.

“Kalau dibiarkan, tersangka akan terus menjual objek sengketa kepada pihak lain, padahal alas haknya diduga palsu. Sekarang saja sudah ada papan bicara dipasang atas nama orang lain,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa objek yang disengketakan berada di dalam kompleks Perumahan Musdalifah, Jalan Manuruki Raya, Kelurahan Sudiang Raya, Kecamatan Biringkanaya, mencakup tanah kosong maupun bangunan rumah.

“Tidak ada ketentuan hukum yang mewajibkan perkara pidana harus tertunda karena ada proses perdata. Dalam yurisprudensi, kasus pemalsuan dokumen justru lebih sering didahulukan demi kepentingan umum dan keamanan hukum,” tegasnya lagi.

Mastan menyebut proses pidana terkait pemalsuan dokumen perlu diprioritaskan agar menjadi dasar penilaian dalam persidangan perdata.

“Kalau bukti suratnya palsu, bagaimana perdata bisa diproses? Itu logikanya,” ujarnya.

Ia juga meminta Polda Sulsel untuk mempertimbangkan pemasangan police line di objek sengketa agar tidak ada lagi proses jual beli selama perkara belum tuntas.

“Kalau police line dipasang, potensi kerugian masyarakat bisa ditekan,” tambahnya.

YouTube player