Pertumbuhan koperasi tak hanya tercermin dari simpanan, tapi juga dari perputaran barang dan nilai pinjaman. Lebih dari 1 miliar rupiah barang telah beredar melalui koperasi pada tahun 1955. Rakyat semakin percaya dan aktif dalam aktivitas koperasi. Ini menandai koperasi sebagai kekuatan nyata dalam sistem perekonomian nasional. “Ini semua berakar dari kekuatan moral koperasi: kerja sama yang jujur dan penuh setia kawan, bukan dari tokoh-tokoh luar biasa, melainkan rakyat biasa yang bersatu dalam semangat gotong royong,” pungkas Wawan.

Ini seolah menjawab stigma dan doktrin bahwa orang miskin tidak bisa mencapai kesuksesan, orang miskin tidak bisa berdaya, karena kita hanya memiliki aset kecil. Ternyata dengan mengelolanya secara bekerja sama, menunjukkan hasil yang luar biasa. Ini menunjukkan bahwa, ketika aset-aset kita digabungkan dengan asas kekeluargaan, kita sebenarnya bisa berdaya.

Mengutip Bung Hatta, Wawan menyampaikan, “Koperasi haruslah tampil sebagai penyeimbang dominasi kapitalisme, dan menjadi manifestasi dari ekonomi, berdasar kekeluargaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945.”

Namun sayangnya, bagi Satriawan ada upaya untuk menghilangkan pemikiran Bung Hatta tentang koperasi, lalu memberikan pendefinisian baru terhadapnya. “Hal ini terbukti dengan hilangnya penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan dasar perekonomian adalah koperasi, setelah undang-undang ini diamandemen,” tutup Wawan.

Pertemuan yang berjalan selama dua jam ini, seperti biasa dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, baik mahasiswa, dosen, aktivis lingkungan, dan juga pelaku usaha serta karyawan swasta.