Oleh : Baharuddin Hafid
(Dosen Tetap Universitas Megarezky Makassar)

Pendahuluan

Pertanyaan quo vadis atau “ke mana arah perjalanan” menjadi relevan ketika membahas masa depan kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Sulawesi Selatan. Meskipun PDIP merupakan salah satu partai politik terbesar di Indonesia dengan basis ideologi Pancasila dan sejarah panjang dalam politik nasional, dinamika di level daerah tidak selalu paralel dengan capaian nasional.

Di Sulawesi Selatan, PDIP menghadapi tantangan konsolidasi, stagnasi elektoral, lemahnya figur sentral, serta dinamika internal yang tidak sepenuhnya terkelola. Dalam konteks teori kepemimpinan politik, kepemimpinan daerah harus mampu menjadi strategic broker sekaligus organizational mobilizer, yakni aktor yang menjembatani kepentingan nasional dengan realitas politik lokal (Katz & Mair, 2009). Pertanyaannya: apakah kepemimpinan PDIP Sulsel telah memenuhi peran tersebut?

Artikel ini bertujuan menganalisis arah kepemimpinan PDIP Sulawesi Selatan dari perspektif teori organisasi politik, modal elektoral, serta tantangan regenerasi partai.

1. Peta Masalah: Kompleksitas Internal dan Struktur yang Tidak Optimal

Secara formal, PDIP merupakan partai dengan struktur terlengkap hingga tingkat ranting. Namun, struktur formal tidak selalu mencerminkan kualitas organisasi. Dalam beberapa tahun terakhir, PDIP Sulsel menghadapi tiga persoalan utama:

a. Fragmentasi Faksi Internal

Faksi adalah hal umum dalam partai politik, tetapi menjadi masalah ketika tidak dikelola. Fragmentasi yang tidak produktif menyebabkan menurunnya koordinasi, melemahnya komunikasi antar-elit, serta tidak adanya garis kebijakan yang solid. Dalam istilah Panebianco (1988), partai dengan faksi tak terkendali cenderung bergerak tanpa “organizing principle”.

b. Menurunnya Militansi Kader

PDIP dikenal sebagai partai ideologis dan kadernya identik dengan militansi. Namun di Sulsel, militansi tersebut tidak lagi menjadi energi sentral. Hal ini tampak dari lemahnya mobilisasi pada momentum elektoral, minimnya kegiatan politik berbasis ideologi, dan turunnya intensitas pendidikan politik kader.

c. Struktur Ada, Fungsi Tidak Sepenuhnya Bekerja

Ranting dan PAC sering kali hanya hadir secara administratif, bukan organisatoris. Dampaknya, instruksi partai tidak terdistribusi efektif, sementara aspirasi akar rumput tidak terserap ke atas.

2. Kinerja Elektoral PDIP Sulsel: Antara Ideologi dan Realitas Politik Lokal

Dalam teori perilaku pemilih, keberhasilan partai ditentukan oleh tiga faktor: (1) ideologi, (2) figur, dan (3) mesin organisasi. PDIP Sulsel tampaknya hanya kuat pada aspek pertama, tetapi lemah pada dua aspek berikutnya.

a. Stagnasi dalam Pileg dan Pilkada

Hasil pemilu legislatif di beberapa dapil menunjukkan tren stagnan, bahkan cenderung menurun. Sulsel merupakan wilayah yang didominasi partai berbasis Islam dan figur lokal kuat. Tanpa figur daerah yang menonjol, PDIP kesulitan membangun vote getter yang mampu menembus kultur politik Sulsel.

b. Minimnya Kandidat Kuat dalam Pilkada

PDIP Sulsel jarang menempatkan kandidat gubernur atau bupati/wali kota yang berdaya saing tinggi. Ketergantungan pada koalisi dan kandidat eksternal menunjukkan lemahnya pembinaan figur internal.

c. Ideologi Tidak Terterjemahkan dengan Baik

PDIP sebenarnya memiliki narasi kuat: nasionalisme Pancasila, keadilan sosial, dan keberpihakan pada wong cilik. Namun narasi ini tidak dikelola secara lokal. Pemilih Sulsel membutuhkan narasi yang menjawab isu setempat: kemaritiman, urbanisasi Makassar, pertanian modern, dan kemiskinan pesisir—narasi yang belum sepenuhnya diartikulasikan oleh PDIP Sulsel.

3. Krisis Figur dan Tantangan Kaderisasi

Teori kepemimpinan politik menyebutkan pentingnya charismatic linkage, yaitu keterhubungan emosional antara pemimpin dan massa (Weber, 1947). Di Sulsel, PDIP belum memiliki figur lokal yang mampu memainkan peran ini.

a. Figur Sentral yang Tidak Mengemuka

Tidak ada satu tokoh yang menjadi ikon PDIP Sulsel. Kondisi ini menyebabkan kepemimpinan berjalan normatif-administratif, bukan visioner.

b. Regenerasi yang Tidak Dirancang Sistematis

Regenerasi partai seharusnya mencetak kader muda yang kompeten. Namun PDIP Sulsel belum memberikan ruang kompetitif yang cukup. Seleksi kandidat lebih banyak bersifat pragmatis ketimbang meritokratis.

c. Tantangan Inklusivitas Generasi Baru

Pemilih muda (milenial–Gen Z) adalah 55–60% pemilih nasional. Tanpa kepemimpinan yang inklusif—yang memahami digitalisasi politik—PDIP akan kesulitan bersaing dengan partai yang lebih adaptif.

4. Reposisi Strategis: PDIP Sulsel di Era Politik Digital, Identitas, dan Post-Truth

Sulsel adalah wilayah dengan kultur politik campuran antara basis keagamaan, patronase lokal, dan rasionalitas kelas menengah yang berkembang. PDIP harus menyesuaikan strategi kepemimpinannya pada tiga medan kontestasi baru:

a. Politik Identitas

Meskipun PDIP bukan partai berbasis agama, ia harus mampu membangun narasi kebangsaan yang selaras dengan kultur religius masyarakat Sulsel.

b. Politik Digital

Kepemimpinan PDIP Sulsel belum maksimal dalam memanfaatkan ruang digital untuk membangun narasi. Padahal ruang digital adalah arena utama pertarungan persepsi.

c. Politik Programatik

Partai harus menjelaskan apa yang diperjuangkan di Sulsel: nelayan, petani, UMKM, kaum muda, pekerja informal? Tanpa diferensiasi programatik, partai hanya menjadi aktor elektoral, bukan aktor transformasional.

5. Arah Baru Kepemimpinan PDIP Sulsel: Agenda Transformasi

Menjawab pertanyaan quo vadis, PDIP Sulsel membutuhkan format kepemimpinan baru yang memiliki karakter visioner, kolaboratif, dan konsolidatif. Ada lima agenda strategis:

1. Reformasi Internal dan Disiplin Organisasi

Memperkuat tata kelola partai, meminimalkan faksionalisme destruktif, dan membangun komunikasi hierarkis yang efektif.

2. Kaderisasi Sistemik Berbasis Kompetensi

Mendesain talent pool kader, menyediakan pelatihan politik rutin, dan memperkenalkan mekanisme promosi kader yang transparan.

3. Penguatan Narasi Ideologis Kontekstual

Membuat narasi ideologi yang selaras dengan isu lokal: maritim, pesisir, pertanian modern, kemiskinan kota, dan transformasi digital.

4. Membangun Figur Kolektif dan Individu

Jika tidak ada figur tunggal yang kuat, PDIP Sulsel dapat membangun kolektif leadership dengan menonjolkan kredibilitas tim.

5. Menjadi Partai Advokasi Publik

Partai harus hadir dalam problem rakyat: konflik agraria, nelayan, tenaga kerja, perempuan, mahasiswa, dan kelompok marjinal. Kehadiran ini membangun legitimasi politik jangka panjang.

Penutup

PDIP Sulawesi Selatan berada pada momen penting untuk menentukan arah kepemimpinannya di tengah dinamika politik daerah yang semakin kompleks. Pertanyaan quo vadis bukan hanya refleksi teoretis, tetapi panggilan untuk mengubah cara bekerja, cara memimpin, dan cara membaca realitas politik lokal.

YouTube player