Karya “Rindu”  ditulis oleh Yuni Haryani Harianto

Mahasiswi Jurusan Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar 2021

SELAMAT MEMBACA….

RAKYATDOTNEWS – Ruas jalan provinsi ramai dipadati orang-orang. Dari arah selatan, terlihat segerombolan orang mengenakan setelan ber-jas meninggalkan gedung berlantai 8. Menuju halte bus. Sebelah barat dan timur sana, pengendara menunggu lampu lalu lintas berganti. Merah ke hijau. Ada yang tidak sabaran. Terlihat dari raut wajahnya yang gelisah. Ada pula yang sibuk dengan handphone-nya. Bergeser ke belakang, ada sepasang kekasih ketawa-ketiwi. Sepertinya pasangan mabuk asmara. Sore itu, jalanan bak lautan manusia. Wajar saja, malam sebentar lagi menyambut.

Tidak dengan Rumah Sakit di bagian utara sana. Sepi. Hanya tiga empat motor yang sibuk keluar masuk. Keluar membawa perasaan gelisah. Lalu masuk membawa tas besar di pundak, setenteng rantang makan malam, bahkan ada yang membawa alat-alat yang entah apa namanya itu. Sepertinya keperluan operasi. Sore itu, di Rumah Sakit, hanya kegelesihan yang tergambarkan.

Senja mulai menyongsong. Disambut hangat oleh malam. Ditengah gemerlapnya kota, di sudut kamar sana, ada seorang perempuan dengan berbagai pikiran yang berkecamuk. Sedari tadi ia tidak berhenti menoleh keluar jendela. Entah apa yang ia cari. Entah apa yang ia khawatirkan. Sepertinya ia menunggu seseorang. Malam itu, disudut kamar sana, hanya sebulir air mata yang mula membasahi pipi.

“Injan”, teriak wanita paruh baya dari dapur.

“Injan, Injan”, teriakan kedua dari wanita itu, dengan sedikit nada emosi.

“Injan! Injan!”, teriakan ketiga disertai suara gedoran pintu kamar.

Perempuan di sudut kamar adalah Injan. Rinjani, seketika ia tersadar dari tangisannya.

“Iya, Bu. Injan keluar”.

Wanita paruh baya itu Ibunya. Saat itu juga ia menyeka pipinya. Meninggalkan semua pikirannya.

“Kamu itu seharian ini di kamar terus. Mikirin apa toh, Nduk?” “Nggak, Bu. Injan gak apa-apa”.

Injan berbohong. Entah berapa kali ia berbohong hari ini. Jauh di lubuk hatinya, ia mengkhawatirkan sesuatu. Ia merindukan hal-hal yang lagaknya susah diwujudkan.

“Kalau ada apa-apa, cerita sama Ibumu ini. Barangkali Ibu bisa bantu, Nduk”.

“Bu . . .”

Kata-kata Injan tersendat. Matanya berkaca-kaca. Air mata menumpuk di pelupuk matanya lalu mengalir.

“Bu, Bu. . .”

Ibunya meraih. Memeluknya. Seketika itu Injan menangis sejadi-jadinya. Kini hanya suara Injan dengan isak tangis yang terdengar. Memenuhi ruang makan malam itu.

***

Dua puluh bulan yang lalu, stasiun tv sibuk mengabarkan kedatangan virus asal China. Bukan hanya di Kota Surabaya. Seluruh dunia gempar membicarakannya. Injan tefokus pada salah seorang presenter. Dalam narasinya, presenter itu mengumumkan bahwa virus corona Wuhan menjangkiti dua warga Indonesia, tepatnya di Kota Depok, Jawa Barat. Kedua orang itu merupakan seorang Ibu dan putrinya. Injan merasa was-was. Di Kota Surabaya ini, ia hanya tinggal bertiga. Ayah, Ibu, dan dirinya. Ada sedikit perasaan bersyukur di hati Injan, bukan mereka yang tejangkit.

Injan mengganti channel lain. Niat hati mau menikmati libur hari ini dengan beberapa hiburan tv. Tapi tidak tersampaikan. Kembali presenter dalam stasiun lain menyiarkan bahwa merebaknya virus baru yaitu coronavirus jenis baru (SARS-CoV-2) dan penyakitnya disebut Coronavirus disease 2019 (Covid 19), yang berawal dari pemberitahuan kantor Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di China tentang adanya sejenis pneumonia yang penyebabnya tidak diketahui. Asal mula virus yang menyerang paru-paru ini berasal dari kota Wuhan, Provinsi Hubei, China yang ditemukan pada akhir Desember 2019. Dugaan awal hal ini terkait dengan pasar basah yang menjual ikan, hewan laut dan berbagai hewan lain yang beroperasi di Pasar Ikan Huanan.

Ada perasaan bergidik bagi Injan. Dalam benaknya ia bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengan Indonesia? Apa virus ini menakutkan? Apa virus ini seperti film World War Z? Bagi Injan sendiri, virus identik dengan zombie. Wajar saja, ia sangat menyukai genre film seperti itu. Pertanyaan terakhir adalah, Apakah sekolah akan diliburkan? Ada sedikit perasaan senang.

“Kalau pemerintah mengambil tindakan ‘meliburkan’, bagaimana nasib kita?”, tanya Ayah di atas sofa sembari membolak-balikkan halaman koran.

“Injan gak tau, Yah. Kalau libur, Injan pastinya akan senang”, jawab Injan penuh semangat.

“Kenapa?”, Ayah balik bertanya kepada putri semata wayangnya itu.

“Karena Injan bakal punya waktu lebih buat jalan-jalan, main bareng teman, menghabiskan film seharian. Seru, Yah”.

Injan sangat bersemangat. Ia belum tahu kebijakan apa yang akan diterapkan pemerintah untuk menanggulangi virus ini.

***

Detik ke menit. Menit ke jam. Jam ke hari. Hari ke minggu. Minggu ke bulan. Tidak terasa sudah enam bulan sejak Covid-19 menyerang Indonesia dan negara-negara lannya di dunia. Waktu berlalu begitu cepat. Satu hal yang paling Injan sesalkan adalah, libur kali ini tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan.

Di kamar, Injan sesak. Injan bosan. Injan marah. Ia tidak suka situasi ini. Bahkan ia kesal dengan Ayahnya sendiri. Jauh di lubuk hatinya, ia sangat berharap libur dadakan ini ia punya waktu luang dengan Ayahnya itu. Wajar saja, Ayah adalah seorang dokter. Di hari-hari biasa, Ayahnya sangat sibuk. Libur pun jarang di rumah. Sibuk mengurusi pasiennya. Tapi lupa dengan anaknya sendiri. Setidaknya begitulah yang Injan pikirkan. Situasi genting seperti ini, Ayah malah ditugaskan mengurusi pasien positif Covid-19.

“Virus sialan”, batinnya.

Injan memutuskan keluar dari kamarnya yang berukuran enam kali empat meter itu. Kamarnya telihat seperti kamar indekos. Minim barang-barang. Hanya barang seperlunya. Sudah seperti mahasiswa saja. Padahal Injan baru duduk di bangku kelas satu SMA.

Injan menyusuri tiap ruangan dalam rumahnya. Dimulai dari dapur, ruang makan, menuju ruang tamu, ke teras depan, dan berakhir di kamar Ibunya. Sangat sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Suara nyamuk pun jelas terdengar.

“Ibu, Injan boleh masuk?”, tanya Injan dari luar.

Injan lahir dari keluarga dengan tata krama terdidik. Ia bukannya canggung terhadap Ibunya sendiri. Injan diajar untuk selalu meminta izin terlebih dahulu kepada siapapun itu.

“Masuk saja, Nduk”, jawab Ibu dengan lembut.

Injan masuk. Duduk di pinggiran kasur. Memulai bulatan-bulatan kecil dengan jemarinya di atas kasur Ibunya.

“Bu, Ayah kapan libur?”

“Gak tau, Nduk. Kenapa memangnya?”, tanya ibu penasaran.

“Injan kesal dengan Ayah. Terlalu Sibuk. Tidak ada waktu buat Injan. Maksud Injan, kenapa Ayah lebih mementingkan pasiennya daripada anaknya sendiri? Ayah sayang gak sih sama Injan?” tanya Injan dengan perasaan campur aduk.

Ibunya bangkit. Memegang tangan Injan. Menatap matanya. Mulai memberi pengertian.

“Hus, gak boleh menghardik seperti itu, Nduk. Injan tahu kan Ayah adalah dokter. Injan paham betul apa tugas dari seorang dokter. Ayah bukannya tidak sayang dengan Injan. Ayah sayang, sayang sekali. Hanya saja, Ayah sedang sangat dibutuhkan di luar sana”, balas Ibu dengan penuturan lembut. Lembut sekali.

“Hmm”

“Daripada cemberut seperti itu, bagaimana kalau Injan bantu Ibu buat kue ulang tahun? Besok ulang tahun Ayah. Mau?”, tanya Ibu mulai meggodai.

“Boleh, Bu. Ayo!”

Injan mulai bersemangat. Menarik Ibu keluar dari kamar. Memeluknya sepanjang perjalanan ke dapur. Kisah cinta antara Ibu dan anak perempuannya.

***

Pagi mulai menyambut. Udara terasa dingin. Burung-burung mulai berkicau dengan merdunya. Ada embun menghiasi daun di halaman belakang. Semalam hujan. Dan Ayah masih tidur di kamarnya. Ayah baru pulang jam tiga subuh tadi. Hari ini ulang tahun Ayah. Kue yang kemarin Injan siapkan dengan Ibunya sudah siap.

Dengan penuh semangat, Injan mengambil kue itu. Ia menaruh lilin di atasnya. Angka berusia tiga puluh sembilan tahun. Ayah masih muda. Ia bergegas menuju kamar orangtuanya. Tidak lupa dengan iringan lagu selamat ulang tahun langsung dari mulutnya.

“Selamat Ulang Tahun, Ayahhhhhh!”, teriak Injan penuh semangat.

Ayah tebangun dari tidurnya. Tersenyum kecil. Meniup lilin. Tapi ada yang aneh. Ayah terlihat pucat. Tidak seperti biasanya. Saat Injan ingin memeluk pun, Ayah menghindar.

“Makasih, Nak”, jawab Ayah dengan suara serak disusul batuk kecil.

“Ayah kenapa?” tanya Injan khawatir.

“Gak, Nak. Ayah hanya kelelahan saja”. balas Ayah tesenyum.

Tidak mau Ayahnya sakit, Injan menyuruhnya tidur kembali. Rasa kecewa itu kembali lagi. Tapi apa mau di kata. Injan tidak egois. Injan keluar bersama Ibu. Membiarkan Ayah terlelap sampai benar-benar pulih.

Sudah mulai sore, dan Ayah masih saja di kamar. Sesekali Injan melirik pintu kamar Ayah. Tidak ada tanda-tanda pintu tebuka. Sedangkan Ibu pergi ke apotek membeli beberapa obat untuk Ayah. Injan menunggu Ibu sembari menyulam beberapa boneka di ruang tamu.

Ibu pulang menjelang magrib. Injan menghampiri Ibunya yang baru sampai.

“Bu, Ayah daritadi gak keluar kamar. Makan pun tidak. Injan khawatir”.

Injan dan Ibunya segera menuju kamar untuk melihat kondisi Ayah. Terlihat Ayah sedang terbaring. Saat Ibu memegang Ayah, Ibu kaget. Badan Ayah panas. Terlihat seperti orang kelelahan. Serta beberapa kali batuk. Mirip ciri-ciri orang positif corona. Ibu langsung mendorong Injan menjauh. Segera Ibu menghubungi pihak rumah sakit.

Tak lama, ambulance datang bersama dengan beberapa tenaga kesehatan. Lengkap memakai Alat Pelindung Diri (APD). Ayah di bawah ke rumah sakit. Injan dan Ibunya juga. Tapi dengan ambulace berbeda.

Di rumah sakit, Ayah ditangani oleh empat dokter. Saturasi oksigen Ayah kurang dari angka seharusnya. Bermacam-macam alat dipasangkan di tubuh Ayah. Sementara di ruangan lain, Injan dan Ibunya menjalani pemeriksaan pasien covid-19. Mereka berdua di isolasi.

Situasi sudah mulai tenang. Tapi tidak bagi Injan dan Ibunya. Hasil pemeriksaan mereka negatif covid-19. Tidak dengan Ayah. Positif. Injan menangis sejadi-jadinya. Sedangkan Ibu, entahlah. Baru kali ini Injan melihat Ibu seperti itu. Gugup. Memegang tasbih. Tidak berhenti memanjatkan doa untuk kesembuhan suaminya.

Tak lama, dokter menghampiri mereka. Katanya sudah bisa pulang. Mereka berdua pulang. Menyiapkan keperluan Ayah, dan kembali untuk besok hari.

***

Pagi kembali datang bersama kesedihan. Telepon rumah berdering. Kali itu Injan sudah bisa menembak telepon dari siapa. Apa yang akan terjadi. Dengan perasaan gugup, ia mengangkat.

“Selamat pagi, kami dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mengabarkan bahwa pasien atas nama Pak Hendra yang positif covid-19 sedang mengalami kritis. Sekarang sedang berada di ruang ICU Isolasi. Harap keluarga Pak Hendra segera datang,” ucap perempuan di seberang sana.

Injan tidak membalas. Ia segera memanggil Ibunya dan bergegas pergi. Keperluan yang mereka siapkan pun luput dari ingatannya.

Sampai di rumah sakit, mereka dipasangkan APD. Dizinkan bertemu dengan Ayah. Benar saja Ayah telihat tidak berdaya. Layar monitor ICU menunjukkan keadaan Ayah yang benar-benar kritis. Tekanan darah menurun. Denyut jantung tidak normal. Menunjukkan angka 40 kali bpm. Saturasi oksigen tidak menujukkan angka seharusnya. Frekuensi napas rendah. Kata dokter, Ayah gagal napas.

Tiba-tiba saja layar monitor ICU mengeluarkan suara berbeda.

“Tuutt tuuttt tuuuuuuuutttt”

Dokter berlarian menuju ruangan Ayah. Injan dan Ibunya digeser keluar oleh perawat. Di luar ruang ICU, Injan dan Ibunya berpelukan. Mereka menangis. Hanya tangisan yang dapat mewakilkan perasaan mereka.

Setelah tiga puluh menit, dokter keluar. Meminta maaf. Katanya:

“Hari ini Rabu, 4 Agustus 2020, jam sepuluh lewat enam belas menit, pasien atas nama Pak Hendra telah berpulang. Maaf tidak bisa menyelamatkan.”

Injan terduduk. Dunianya seketika runtuh. Tahun ini kembali memukul dengan telak. Saking telaknya Injan benar-benar dipukul jatuh hingga nyaris berantakan. Ayah telah berpulang ke pelukan Yang Kuasa. Dari semua kepahitan yang bisa kapan saja datangnya, ini adalah hal yang paling mengguncang. Sungguh hati Injan patah. Meski beberapa kali pernah membayangkan ini, mencoba mempersiapkan diri. Injan seketika teringat dengan perkataan Ayah.

“Ketetapan-Nya yang terbaik.”

Kalimat itu pula yang menguatkan saat harus melepas Ayah.

***

Sebulan berlalu. Kini hanya Injan dan Ibunya yang tersisa. Covid-19 benar-benar merenggut nyawa orang terkasih. Tidak memandang siapa pun.

Ditengah gemerlapnya kota, di sudut kamar sana, Injan duduk dengan berbagai pikiran yang berkecamuk. Sedari tadi ia tidak berhenti menoleh keluar jendela. Entah apa yang ia cari. Entah apa yang ia khawatirkan. Sepertinya ia menunggu seseorang. Malam itu, disudut kamar sana, hanya sebulir air mata yang mula membasahi pipi.

“Injan,” teriak Ibu..

“Injan, Injan,” teriakan kedua dari Ibu.

“Injan! Injan!,” teriakan ketiga disertai suara gedoran pintu kamar.

Injani tersadar dari tangisannya.

“Iya, Bu. Injan keluar”.

Saat itu juga ia menyeka pipinya. Meninggalkan semua pikirannya.

“Kamu itu seharian ini di kamar terus. Mikirin apa toh, Nduk?”

“Nggak, Bu. Injan gak apa-apa”.

Injan berbohong. Entah berapa kali ia berbohong hari ini. Jauh di lubuk hatinya, ia mengkhawatirkan sesuatu. Ia merindukan hal-hal yang lagaknya susah diwujudkan.

“Kalau ada apa-apa, cerita sama Ibumu ini. Barangkali Ibu bisa bantu, Nduk”.

“Bu . . .”

Kata-kata Injan tersendat. Matanya berkaca-kaca. Air mata menumpuk di pelupuk matanya lalu mengalir.

“Bu, Bu. . .”

“Bu, Injan rindu Ayah.”

Ibunya meraih. Memeluknya. Seketika itu Injan menangis sejadi-jadinya. Kini hanya suara Injan dengan isak tangis yang terdengar. Memenuhi ruang makan malam itu.***

Baca Juga : Vaksin Demi Bansos

Baca Juga : Memori Kolektif dan Refleksi Pahlawan

Pilihan Video