MAKASSAR – Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena dirinya manusia, bukan merupakan hadiah dari siapa pun, sebab itu negara wajib menyediakan instrumen  penegakan hukum hak asasi manusia.

Meski penegakan hukum hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing bagi civitas akademika ilmu hukum, namun penegakan hukum hak asasi manusia yang berperspektif perempuan belum banyak dilakukan. Kata “berperspektif perempuan” sengaja ditekankan untuk mendapatkan keadilan, karena pada praktiknya sukar sekali diperoleh. Dalam pemikiran ilmu hukum muatan budaya patriarkis sangatlah kental sehingga tidak mengherankan hal itu juga tercermin dalam penegakan hukum hak asasi manusia.

Dalam literatur hukum berperspektif feminis, sangat dipersoalkan masalah “netralitas” dan “objektivitas”. Benarkah hukum hak asasi manusia itu netral dan objektif? Suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga dengan berbagai konsekuensinya bagi perempuan yang bekerja—termasuk selalu di-anggap lajang dan tidak mendapat tunjangan keluarga di tempat kerja—sudah jelas tidak netral dan objektif. Suami boleh beristri lebih dari satu—meskipun dengan sejumlah persyaratan yang seolah berat, tetapi pada akhirnya ternyata persyaratan dapat diabaikan—tidaklah netral dan objektif juga.

Delik pidana sering diawali dengan kata “barang siapa” atau “setiap orang”. Kelihatannya adil, karena setiap orang diperlakukan sama, namun praktik hukum menunjukkan hal yang lain. Peraturan Daerah (Perda) pada banyak propinsi di Indonesia, sekarang bermunculan, mengatur larangan anti maksiat dan pelacuran. Ternyata kata “setiap orang” dalam Perda lebih dimaksudkan sebagai perempuan, karena perempuanlah yang ditangkapi dalam operasi larangan keluar malam. Dalam benak para perumus hukum tersebut, pelacur hanyalah perempuan, dan perempuan yang keluar malam bukan perempuan yang baik-baik, dan boleh dicurigai sebagai pelacur.

Sementara itu, laki-laki “pengguna” bukanlah pelacur sehingga dibiarkan pergi atau tidak perlu ditangkap. Di samping itu, pengaturan semacam ini juga sangat bias kelas karena hanya perempuan miskinlah yang “berkeliaran” di jalan, sementara perempuan kelas menengah yang berada di dalam mobil, tentulah terkecualikan dari penangkapan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hampir tidak ada pasal yang berbicara mengenai korban kejahatan. Hal yang diatur hanyalah mengenai pelaku kejahatan. Tentu saja hal ini sangat terkait erat dengan konteks sejarah pada waktu hukum ini dibuat, yaitu agar jangan sampai rakyat (Perancis) dapat dengan mudah dikriminalisasi oleh penguasa yang sewenang-senang. Kemudian KUHP “dibawa” oleh pemerintah Belanda ke Indonesia, dan diberlakukan sebagai Wetboek van strafrecth voor Indonesie, dan selanjutnya “dikemas” sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia sampai saat ini.

Sungguhpun dalam KUHP diatur hal-hal yang sangat komprehensif, namun bila berhadapan dengan persoalan perempuan, maka hanya penegak hukum yang progresif, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan berperspektif korban (perempuan) sajalah yang mampu menggunakannya secara maksimal. Penegak hukum yang progresif serta menjunjung tinggi hak asasi manusia akan membaca KUHP dengan perspektif keadilan korban (perempuan), dan akan dapat menemukan pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku.

Lebih lanjut, dapat ditemukan bagaimana sikap dan pandangan para penegak hukum terhadap perempuan, baik sebagai korban kejahatan maupun pelaku kejahatan. Perempuan yang menjadi korban, sering harus berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan penegak hukum yang sulit untuk dijawab oleh korban, apalagi bila masih di bawah umur atau masih dalam trauma karena mengalami kekerasan. Padahal, penegak hukum merasa harus menemukan “kebenaran materiil” dari perkara.

Penegak hukum yang tanpa perspektif akan “membaca” situasi ini sebagai “omongan” korban yang tidak dapat dipercaya, patut diragukan karena memberi jawaban yang berbeda-beda. Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang meminta cerai di pengadilan (agama) misalnya, berhadapan dengan pertanyaan hakim yang malahan menyudutkannya, seperti “Ibu melayani orang lain sampai pagi, sementara suami sendiri tidak dilayani”. (Perempuan tersebut seorang perawat di rumah sakit yang memang harus melakukan kerja lembur dalam tugasnya).

Sementara itu, penegak hukum yang adil dan menjunjung tinggi hak asasi manusia akan mengerti posisi rentan dari korban dan melakukan strategi yang tepat dalam mencari kebenaran materiil. Misalnya, penegak hukum akan bersikap sebagai teman bagi korban kekerasan anak-anak di bawah umur, menanyakan peristiwa seputar perkara dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersahabat dan tidak menakutkan.

Dalam masyarakat juga ditemukan bahwa perempuan “pelaku kejahatan” mendapat stigma yang merugikan, misalnya beberapa di antaranya didakwa sebagai pelaku pembunuhan bayi (juga dalam kasus “aborsi”). Dalam posisi seperti itu, mereka akan mendapat stigma sebagai pembunuh. KUHP mengancamnya dengan pasal pembunuhan. Pertanyaan di persidangan akan menempatkan mereka sebagai terdakwa pembunuh, dan pencarian kebenaran materiil akan diarahkan pada seberapa jauh kebenaran tentang dia membunuh atau tidak. Melakukan konfirmasi antara berkas tuduhan jaksa dengan KUHP memang lebih mudah bagi hakim. Dalam hal ini, tidak terlalu dianggap perlu untuk menggali lebih jauh mengapa perempuan ini membunuh bayinya, bagaimana pengalamannya, hal-hal apa yang melatar-belakangi perbuatannya. Padahal penggalian pengalaman seluas-luasnya dan memperhitungkannya dalam proses penanganan perkara, sangatlah dibutuhkan.

Seorang perempuan yang dipantau, membunuh bayinya karena tidak terlalu menyadari bahwa dirinya hamil akibat perbuatan seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab, sampai pada bulan-bulan mendekati akhir masa kehamilannya. Bagi seorang perempuan, peristiwa yang terjadi dalam tubuhnya, dan apalagi kemudian “berniat” menghilangkan suatu bagian dari tubuhnya sendiri, tentulah merupakan pergumulan batin yang tiada tara. Pengalaman perempuan seperti ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan juga. Tentu saja, pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana dengan laki-laki, yang menyebabkan kehamilan itu terjadi? KUHP dan instrumen hukum lain (seperti UU Kesehatan) tidak mengatur hal tersebut.

 

Perempuan Dalam Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia
Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2020, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 299.911 kasus.

Dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2020, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 299.911 kasus, namun hanya sebagian kecil yang diproses hukum. Akibatnya korban berada dalam situasi yang tidak pasti. Sebab itu, sangat penting adanya hukum yang berpihak pada hak asasi manusia perempuan dengan memberikan dukungan pada pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUUTPKS) agar tercipta perlindungan yang bersifat komprehensif untuk terhindar dari segala bentuk kekerasan dan memberikan akses keadilan dan perlindungan terhadap kekerasan seksual.

Hukum tidak boleh hanya digunakan untuk memberi sanksi kepada pelaku. Menurut seorang ahli hukum berkebangsaan Amerika, Roscoe Pound mengemukakan, tujuan hukum adalah untuk “melindungi kepentingan manusia (law as tool of social engineering)”. Bahwasanya pencarian mendalam terhadap pengalaman perempuan untuk mengungkap “kebenaran materiil” yang sesungguhnya, itulah yang diharapkan. Dengan demikian putusan yang seadil-adilnya akan didapatkan oleh perempuan.

Maemanah – (Dosen Fakultas Hukum Universitas Sawerigading Makassar)

Baca Juga : Sembilan Elemen Jurnalisme

Baca Juga : RINDU

Pilihan Video