MAKASSAR – Tepat di bagian timur-tengah Provinsi Hubei, Tiongkok, berdiri sebuah kota bernama Wuhan. Kota ini merupakan kota terbesar yang ada di Hubei sekaligus kota terpadat penduduknya di Tiongkok Tengah. Dengan jumlah penduduk lebih dari 11 juta jiwa, Wuhan termasuk salah satu dari tiga kota besar di China seperti Shanghai dan Beijing. Bahkan kota ini sama luasnya dengan London hingga menjadikannya sebagai kota terbesar ke-42 di dunia dan kota terbesar ke-7 di China.

Baca Juga : Perempuan Dalam Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia

Wuhan telah lama mengukuhkan diri sebagai pusat keuangan dan perdagangan terbesar kedua di China ketika Inggris mengendalikannya selama pertengahan 1800-an. Kini, Wuhan menjadi kawasan industri kota dengan pabrik mobil, industri berat, dan industri maju. Sebab oleh invasi yang dikakukan oleh Inggris, maka dibangun lah pelabuhan perdagangan di Hankou sebagai jalur masuk kapal dari Inggris ke Wuhan yang pada akhirnya menjadi pelabuhan tersibuk di kawasan tersebut.

Selain industri-industri yang menjadikan Wuhan sebagai kota maju, Wuhan juga termasuk salah satu dari beberapa pusat wisata terbesar yang ada di China. Menara Crane Yellow adalah salah satunya. Terletak di Bukit Ular di Wuhan, menara ini dibangun pada 223 Masehi selama Periode Tiga Kerajaan dan telah lama menjadi simbol kota Wuhan. Sebab oleh destinasi-destinasi wisatanya itulah banyak turis atau wisatawan dari berbagai mancanegara berkunjung ke Wuhan dari tahun-ke-tahun.

Tak bisa dipungkiri bahwa Wuhan adalah kota yang indah di samping kemajuannya. Sebelum akhirnya kota tersebut dijuluki sebagai Kota Mati!

Cerpen: Wuhan dan Corona Virus
Ilustrasi. Foto: BBC.

Pada akhir tahun 2019, Wuhan menjadi pusat perhatian dunia dengan sebuah Virus yang diakibatkan peristiwa zoonosis atau disebut juga dengan perpindahan virus dari hewan ke manusia. Budaya memakan hewan liar diduga adalah penyebabnya. Bahkan tak sedikit orang yang menyimpulkan demikian. Memakan hewan liar seperti kelelawar dan tranggilin sudah biasa bagi penduduk Wuhan, maka besar dugaan bahwa virus yang menyebabkan  kota Wuhan kini dijuluki sebagai Kota Mati berasal dari kebiasaan tersebut.

Dunia gempar. Media-media diberbagai Negara adalah andil terbesar kegemparan itu. Dan Indonesia termasuk salah satunya. Diawal-awal terdeksi, Indonesia menjadi salah satu Negara yang cukup gencar menggali informasi-informasi mengenai virus tersebut yang kemudian diwartakan melalui berbagai media.

Covid-19 atau Corovavirus disease 2019, yang kemudian dikenal luas oleh masyarakat Indonesia sebagai Virus Corona. Pembunuh kecil yang mematikan. Virus Corona adalah sekelompok virus berbentuk bulat dengan sisi-sisinya yang menyerupai mahkota. Virus ini adalah bagian jenis dari virus SARS  atau Severe Acute Respiratory Syndrome yang mewabah pada tahun 2003, serta virus MERS atau Middle East Respiratory Syndrome yang mewabah pada tahun 2012 silam.

Setiap hari informasi mengenai Virus Corona menjadi headline sebuah berita, baik di media televisi maupun di media cetak. Seluruh program berita di tanah air saling berlomba menyajikan informasi terbaru tak ubahnya sebuah persaingan. Jelas, ini adalah dua kepentingan yang berbeda. Selain menjadi transportasi komunikasi bagi masyarakat, media massa tetap tak bisa dipisahkan dengan bisnis. Untuk itu, mereka sebisa mungkin mewartakan berita-berita yang berpotensi menarik khalayak ramai. Dalam hal ini adalah Virus Corona.

“Ibu, ayah, Virus Corona itu apa?” sebuah pertanyaan tiba-tiba ke luar dari mulut seorang anak laki-laki yang tengah duduk di meja makan bersama ibu, ayah, serta saudara perempuannya yang berusia lima tahun di atasnya. Namanya Muhammad Abian. Usianya baru menginjak 10 tahun. Memang masih tergolong sangat muda, akan tetapi rasa penasarannya yang begitu besar terhadap sesuatu hal sering kali menjadikan Abian berbeda dengan anak-anak seusianya.

Akibat dari dampak mewabahnya Virus Corona, pemerintah akhirnya mengambil langkah cepat untuk menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan masyarakat dengan menutup pusat keramaian. Termasuk pusat perbelanjaan seperti mall, kampus, sekolah, serta kantor-kantor atau instansi. Hal ini dilakukan dalam rangka pencegahan penularan Virus Corona yang dianggap semakin membahayakan masyarakat. Dan di antara sekolah-sekolah tersebut, SD Negeri 48 Jakarta yang merupakan sekolah Abian juga ikut ditutup. Untuk itulah rasa penasaran Abian tergugah terhadap Virus Corona ini. Seberbahaya apa Virus Corona ini sehingga berhasil membuat seluruh sekolah di Indonesia ditutup?

Ibu dan Ayah Abian terlihat saling bersitatap beberapa detik, setelah itu mereka kembali menatap Abian. Sang ibu tersenyum dan menjawab, “Virus Corona adalah sebuah penyakit saluran pernapasan yang bisa menular. Biasanya penularan Virus Corona terjadi  ketika kita bersentuhan dengan orang yang terkena virus ini. Bisa juga melalui droplet saat seseorang batuk, bersin, bernyanyi, berbicara, hingga bernapas.”

Kemudian Abian bertanya lagi, “Jadi Virus Corona ini bisa menular melalui udara, dong, Bu?”

Sang ibu mengangguk seraya tersenyum dengan lembut. Ia lalu menjawab, “Betul, Abian. Selain menular melalui kontak langsung dengan penderita Virus Corona, kita juga bisa tertular melalui udara. Tapi,” sang ibu menjeda kalimatnya sejenak, ia meraih segelas air putih di depannya kemudian meneguknya sampai tandas.

Abian masih menunggu, dia nampak tak sabar untuk mendengar kelanjutan penjelasan sang ibu. Mata polos anak itu berkedip-kedip penasaran. “Tapi apa, Bu?”

Sang Ibu meletakkan kembali gelas yang ada di tangannya tadi  ke atas meja, lalu kemudian ia melanjutkan penjelasannya. “Tapi penularan ini terjadi ketika kita berada di ruangan tertutup yang ramai dan sirkulasi udara kurang baik. Misalnya di restoran, kantor, sekolah, mall, dan sasana olahraga atau gym. Makanya sekolah kamu ditutup untuk sementara ini, kan?”

Abian mengangguk mengiyakan.

“Nah, itu karena pemerintah tidak ingin banyak masyarakatnya yang tertular Virus Corona.”

Kali ini Abian mengangguk-angguk paham, anak itu berlagak seperti orang dewasa tetapi malah terlihat menggemaskan. Kemudian dia hendak bertanya lagi, “Tapi, Bu…,”

“Sudah, nanti saja kamu bertanya lagi, lebih baik kamu makan dulu. Nasi kamu sudah hampir dingin, itu.” Sang Ayah memotong.

“Iya, Abian. Itu lihat, Ibu jadi tidak makan-makan karena kamu bertanya terus.” Kakak perempuan Abian juga ikut menimpali. Sementara sang ibu hanya tersenyum di ujung sana seraya mengeleng-geleng kan kepala.

Abian mengehela napasnya. Dia kemudian beralih pada sepiring nasi dengan beberapa lauk yang tadi disuguhkan sang ibu di depannya. Anak itu akhirnya berhenti bertanya walau sebenarnya dia masih penasaran mengenai Virus Corona. Maka Abian berinisiatif untuk bertanya kepada orangtuanya sehabis mereka makan malam nanti.

* * *

Di ruang tengah yang nampak sederhana itu, Abian dan keluarganya berkumpul dengan menyaksikan sebuah berita yang mewartakan Virus Corona yang lagi-lagi memakan korban jiwa. Sang presenter bernarasi, memberitahukan berita duka yang kali ini datang dari seorang dokter muda yang akan melaksanakan pernikahannya bulan depan. Ayah dan ibunya fokus menyaksikan televisi sembari mendengarkan penuturan sang presenter. Sementara di sudut sofa, sang kakak sibuk memainkan ponselnya seperti biasa. Mengabaikan sekitar.

Sesekali Abian akan mendengar ibunya berbicara sendiri, seperti ‘kasihan sekali, padahal sebentar lagi dia akan menikah’, ‘makin parah saja Virus Corona ini’, dan banyak lagi ocehan-ocehan lainnya yang tak Abian dengar dengan jelas.

Di sisi lain, ayahnya hanya diam saja tanpa berkomentar satu katapun walau hanya sekedar menanggapi ocehan-ocehan sang istri. Biasanya memang seperti itu, ibu yang super cerewet sedangkan ayah yang pendiam selayaknya patung.

“Setiap hari ponsel saja kerjaanmu, apa tidak bisa istirahat dulu beberapa jam saja. Tidak lihat itu kacamatamu sudah mines berapa? Bisa-bisa mata kamu rusak, Nadia!”

Beberapa menit berlalu, ketika Abian sedang fokus membaca headline berita yang baru saja berganti mengenai bertambahnya kasus Virus Corona, suara sang ibu menginstrupsi dan membuatnya mengalihkan atensi.

Nadia merupakan nama kakak perempuannya. Dan ini pertama kalinya Abian mendengar sang ibu menegur kakak perempuannya itu mengenai kebiasaannya yang kadang lupa waktu kalau sudah berhadapan dengan ponsel. Mungkin sang ibu sudah lelah melihatnya. Sudah pasti. Sebab Abian juga berpikir demikian.

Kadang Abian heran melihat sang kakak yang tiap hari menghabiskan waktunya dengan memandangi ponselnya terus-menerus. Entah apa yang begitu menarik di balik benda persegi itu sampai-sampai membuat sang kakak seolah tak lagi perduli dengan sekitar. Seperti memiliki dunianya sendiri.

Nadia tidak menyahut. Ia hanya diam tanpa berani menoleh menatap sang ibu. Ponselnya ia turunkan kemudian pandangannya beralih pada televisi. Siapapun tahu bahwa ucapan sang ibu tak bisa disanggah. Itu adalah mutlak. Dan baik Abian ataupun Nadia, keduanya tahu bahwa sang ibu cerewet hanya karena ia begitu menyayangi anak-anaknya. Sang ibu hanya sedang menasehati.

“Tidur sana! Bukannya besok kamu mau UTS? Dan awas kalau sampai di kamar kamu masih main ponsel, mama bakalan sita ponsel kamu!” suara Sang Ibu kembali terdengar, kali ini lebih keras. Semua orang terdiam, tak terkecuali sang ayah. Pun dengan Abian yang langsung beranjak dari tempat duduknya kemudian lekas berlalu menuju kamarnya.

Tak berselang lama setelah kepergian Abian, Nadia juga beranjak dari duduknya kemudian berlari kecil menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Suasana hati sang ibu sedang tidak baik-baik saja, untuk itu Abian melupakan rencananya untuk  melanjutkan pertanyaan yang hendak ia tanyakan di meja makan tadi. Abian harus menunggu hari esok.

* * *

Abian adalah anak yang pintar, bahkan ketika anak-anak lain membenci matematika yang katanya memusingkan itu, tetapi Abian justru menyukainya. Berhitung adalah satu hal yang menyenangkan, apalagi kalau berhasil memecahkan soal-soal yang dipenuhi nomor-nomor itu. Begitulah Abian berpendapat ketika menjawab pertanyaan salah seorang kawannya yang mempertanyakan mengapa dia menyukai matematika. Yang pada akhirnya kawannya itu tetap tidak mengerti.

Abian baru saja menuruni anak tangga menuju ruang tengah. Sudah jam delapan pagi, dan biasanya di jam yang sama Abian sudah berada di sekolah jika saja sekolah tidak diliburkan. Langkah kecil anak itu menuntunnya ke sofa di mana Nadia, sang kakak duduk dengan memainkan ponselnya di sana. Lagi dan lagi.

“Kak, main badminton, yuk,” ajaknya ketika dia sudah berdiri di depan sang kakak.

Nadia tak menggubris, gadis itu masih melanjutkan kesibukannya berselancar di dunia maya.

“Kak Nadia!”

“Pergilah Abian, jangan ganggu kakak. Kakak sedang sibuk ini.” Nadia berkata tanpa sekalipun menoleh.

Abian merenggut, dia sudah tahu ini akan terjadi. Kakaknya itu memang tak mungkin bisa dipisahkan dari ponsel. Bahkan setelah mendapat omelan dari sang ibu, dia tetap saja tidak berubah. Kebiasaan memang sesulit itu dihilangkan, apalagi tanpa berniat menghilangkannya sebagaimana Nadia.

Abian beralih, anak itu memutuskan untuk bertemu dengan sang ibu dan melanjutkan pembahasan mereka tempo lalu mengenai Virus Corona. Barang kali sang ibu sudah selesai mengajar. Maklum, ibu Abian adalah seorang guru SMP yang sekarang sedang melakukan proses belajar mengajar secara daring di rumah.

Ketika Abian baru saja hendak meraih gagang pintu kamar sang ibu, pintu kamar sang ibu malah lebih dulu terbuka dengan sang ibu yang muncul di balik sana.

“Abian? Ada apa, Nak?” Tanya sang ibu yang sedikit menunduk menatap putra kesayangannya itu.

“Ibu sudah selasai mengajar?”

“Sudah, Abian mau dibuatin apa? Mau nasi goreng?”

Abian menggeleng. “Tidak, Bu, Abian cuma ingin bicara dengan ibu.”

“Bicara dengan Ibu?” sang ibu membeo, ia kemudian meraih tangan Abian kemudian menuntunnya untuk duduk di sisi tempat tidur. “Mau bicara apa, sih, sampai segitu seriusnya?”

“Itu, Bu, mengenai Virus Corona. Kan, ibu bilang Virus itu menular, kan?”

Sang ibu mengangguk. “Iya, memangnya kenapa?”

“Kalau misalnya kita terkena Virus itu, gejalanya apa aja, Bu?”

Rasa ingin tahu Abian memang sangat lah besar, dan ini bukanlah yang pertama kalinya. Untuk itu, sang ibu tidak lagi heran.

Sang ibu mengelus-elus pucuk kepala putranya itu dengan penuh sayang, ia lalu menjawab, “Infeksi Virus Corona itu ditandai dengan demam dan peradangan saluran pernapasan yang dapat menyebabkan pneumonia atau paru-paru berlendir. Biasanya gejala umum pada orang yang terjangkit virus ini adalah batuk-batuk, kelelahan, serta indera perasa dan indrea penciuman yang tidak berfungsi.”

Abian mengangguk-angguk paham sebagaimana tempo lalu, lantas ia bertanya lagi. “Kalau misalnya kita mulai merasakan gejala-gejala itu, kita harus bagaimana?”

“Pertanyaan yang bagus,” sang ibu mencubit kedua pipi Abian dengan gemas, rasanya dia begitu bangga memiliki seorang putra yang begitu peka dengan keadaan sekitar. “Hal pertama yang kita harus lakukan ketika mengalami gejala Virus Corona yaitu berdiam diri di rumah dan melakukan penyembuhan dengan meminum obat-obatan yang bisa mengurangi gejalanya, tentunya yang sudah diresepkan oleh dokter. Tetapi ini hanya berlaku bagi gejala demam dan batuk saja. Kedua, memisahkan diri dari orang lain. Maksudnya kita harus melakukan isolasi diri dengan menjauh dari orang-orang di sekitar kita. Jika kita ingin berinteraksi dengan orang lain maka kita harus menjaga jarak minimal satu meter. Tidurpun kita harus sendiri dan terpisah dengan orang lain. Ketiga, kita harus memberi tahu dokter tentang keadaan kita agar dokter bisa memberikan pengobatan secepat mungkin.”

Mendengar penjelasan sang ibu, Abian menarik kesimpulan bahwa ketika kita terjangkit Virus Corona maka kita tidak perlu panik apalagi menyembunyikannya. Kita harus segera memberitahu dokter agar kita bisa deberi pengobatan secepat mungkin dan tidak menularkan Virus itu kepada orang lain.

“Abian sudah paham?” Tanya sang ibu kemudian.

Abian mengangguk dan tersenyum. “Paham, Bu. Makasih udah jawab pertanyaan Abian.”

Sang ibu balas tersenyum. “Sama-sama, sayang. Kalau begitu Ibu mau lanjut mengajar dulu, sudah waktunya jam kedua masuk, nih.”

* * *

Setelah beberapa bulan berlalu, bahkan hingga tahun berganti, wabah Virus Corona tak juga usai. Selama itu, berbagai desas-desus serta informasi-informasi yang tak berdasar tersebar ke masyarakat. Ada yang tak percaya, namun tak sedikit pula yang termakan. Beberapa dari mereka bahkan ikut menyebarkan informasi tersebut yang bahkan belum jelas kebenarannya.

Bermacam-macam opini dan pendapat dari berbagai kepala berseliweran di berbagai media. Dalam hal ini adalah media sosial. Usia Abian sudah menginjak angka 12 tahun saat itu. Walaupun hampir tak pernah memainkan ponsel diluar jam sekolah, tetapi Abian cukup peka dengan berita-berita yang terjadi di luar sana. Jelas Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Meski wabah Virus Corona tak lagi separah tahun lalu, akan tetapi itu bukan jaminan untuk mengurangi kewaspadaan.

Mungkin inilah yang dinamakan krisis. Sebab oleh pandemi Virus Corona ini perekonomian tak berjalan dengan baik. Masyarakat melarat. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan, dan lapangan pekerjaan yang sudah sempit kini semakin sempit saja.

Tetapi Abian mengambil pemikiran yang positif bahwa di samping kedukaan pasti akan terselip kebahagiaan. Walaupun orang-orang akan berkata bahwa pemikirannya itu hanyalah pemikiran seorang anak kecil, Abian tak ambil pusing.

Abian bersyukur, setidaknya udara Jakarta jauh lebih baik ketimbang sebelum pandemi datang. Abian merasa bahwa Tuhan sedang membersihkan Bumi-Nya. *TAMAT*

Cerpen Wuhan dan Corona Virus ditulis oleh M Yunus – Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi Jurusan Jurnalistik UIN Alauddin Makassar.

Baca Juga : RINDU

Pilihan Video