MAKASSARKorupsi; Realita Yang Terjadi Kekinian merupakan opini dari Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM), Adnan Buyung Azis, SH yang ditulis dalam menyambut momentum Hari Anti Korupsi Sedunia, Kamis, 09 Desember 2021.

Realitas sekarang, persoalan korupsi tidak pernah berkurang, malah semakin lama semakin bertambah. Padahal diketahui perangkat untuk dilakukannya pemberantasan korupsi telah tersedia, mulai dari UU tindak korupsi, lembaga-lembaga khusus anti korupsi, semisal KPK serta lembaga konvensional aparat kepolisian maupun kejaksaan.

Baca Juga : Perempuan Dalam Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia

Apa yang salah? Pertanyaan ini sering ditanyakan kepada saya ketika saya menjadi pembicara dalam diskusi dan seminar korupsi. Tanpa perlu menjawab, masyarakat pun cenderung menyalahkan aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan dan hakim hingga dalam kasus yang ditangani oleh KPK, KPK pun sering disalahkan juga, dan hal yang baru adalah Lembaga Pemasyarakatan juga kena sorotan.

Dugaan masyarakat yang demikian tidak salah karena masyarakat sekarang pun lebih kritis dibandingkan dengan pengamat hukum dan pengamat korupsi. Bagaimana pun juga persoalan korupsi tidak jauh-jauh dari masalah aturannya yang salah yang tentunya penerapan dan pelaksanaan hukum yang salah dan keliru, atau dengan kata lain penegakan hukum mulai dari hilir hingga hulu pada rusak semua.

Dan menurut saya, tentunya tidak semua rusak, masih ada yang baik dan memiliki integritas yang baik, meski kalah dalam mengambil keputusan.

Lalu dimana celah korupsi itu dimulai, dalam realitas politik dan ekonomi yang ada adalah persoalan tambang, hutan dan sumber daya lainnya termasuk tanah perkebunan dan isu yang terakhir adalah mafia tanah yang menjadi isu primadona.

Tentunya kasus-kasus tersebut tak terlepas dari regulasi yang mengesahkan tindakan-tindakan yang bersifat ilegal dan termasuk persoalan-persoalan balas budi pasca pilkada atau Pilpres.

Siapa pun mahfum jika sebuah perbuatan harus dilihat dari niat itu sendiri yang biasa disebut Means Rea. Sebuah proyek- proyek besar yang akan dilakukan tentunya, meskipun akan merusak lingkungan dan merugikan masyarakat banyak, haruslah dilegalkan terlebih dahulu dengan menggunakan UU hingga turunan sampai ke peraturan Bupati/walikota sehingga tindakan yang dilakukan (atus reus) yang awalnya illegal yang berdampak merugikan masyarakat banyak, akan menjadi sah dimata hukum dan yang fonemenal adalah UU Omnibus Law.

Pembetukan regulasi yang demikian tentunya cenderung koruptif dan biasanya dilakukan hingga pelaksanaan sampai di lapangan, yang tentunya melibatkan persetujuan gubernur hingga bupati/walikota. Dan lagi-lagi persoalan ini juga tidak terlepas dari perhelatan politik dalam hal ini pilkada sebagai bagian balas jasa politik dan kita saksikan bagaimana gubernur, bupati dan walikota terseret dalam pusaran korupsi dan ini terjadi secara massif.

Pertanyaan berikutnya apakah persoalan hanya sampai vonis hakim? tentunya tidak. Masih banyak regulasi yang memberikan kemudahan bagi para napi koruptor, salah satunya adalah bagaimana Mahkamah Agung RI mengabulkan Judicial Review PP No. 99 tahun 2012 atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang remisi, padahal diketahui UU tersebut pernah di judicial review dan hakim menolak. Namun tahun ini untuk kali kedua hakim mengabulkan dengan alasan terpidana koruptor tidak boleh dibeda-bedakan dengan pelaku kejahatan umum. Dalam konsep ini, hakim memasukan konsep Restoratif Justice, koruptor telah memboceng konsep Restorative Justice, padahal diketahui konsep Restoratif Justice sebelumnya hanya dipergunakan dalam perkara-perkara Anak berhadapan dengan hukum, sekarang berlaku pula untuk kasus kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

SELAMAT HARI ANTI KORUPSI!

Baca Juga : Fitnah, Niat dan Integritas

Pilihan Video