Makassar – Jodoh tak ada yang tahu, dengan siapa, dan dari mana asalnya. Itulah kalimat tepat bagi Abdul Hakim, pencari suaka asal Rohingya Myanmar yang sudah lama tinggal di Makassar.

Baca Juga : DMI Bantu Rp1 M untuk Pembangunan RS Indonesia Hebron di Palestina

Usianya kala itu masih 19 tahun saat menikahi sang istri, yang ditemuinya pertama kali di sebuah restoran. Wanita yang dinikahinya adalah seorang Warga Negara Indonesia berasal dari keluarga Bugis-Makassar.

Enam tahun berjalan, Abdul Hakim di usianya yang masih 24 tahun telah dikarunai tiga anak laki-laki.

Abdul Hakim hanya satu dari sekian banyak pencari suaka maupun imigran lain yang menikah dengan Warga Negara Indonesia, khususnya di Kota Makassar.

Makassar bukan merupakan daerah yang dia tempati kala itu. Sejak diusir dari negaranya sendiri, Abdul Hakim terpisah dari keluarga dan ikut dengan rombongan kapal hingga membawanya sampai ke Indonesia dan tiba di Pulau Sumatera pada Februari 2011.

Usianya saat itu masih 14 tahun. Sendirian jauh keluarga membuatnya harus bisa bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan barunya.

Abdul Hakim bercerita saat kejadian tembakan yang terjadi tanah kelahirannya di Rohingya, ia dan ketujuh saudara Bersama orangtuanya lari mengungsikan diri meninggalkan rumah, mereka bahkan terpisah. Hingga di tahun 2013, barulah Abdul Hakim mengetahui keberadaan keluarganya yang ternyata hanya dirinya sendiri berada di Indonesia, sementara orangtuanya berada di Bangladesh dan ada juga kerabat yang masih tinggal di Myanmar.

“Kakak masih ada tinggal di sana, karena dia jaga harta kami di rumah sana,” ungkap Abdul.
Sudah sangat lama Abdul Hakim menunggu kabar dirinya untuk diberangkatkan ke negara tujuan yang menerima kehadiran pencari suaka maupun migran lain.

Melalui United Nations High Commissioner for Rafugees (UNHCR), Abdul Hakim masih harus bersabar dan menunggu saat masih berada di Aceh. Hingga di tahun 2013, Abdul Hakim mencoba memberanikan diri naik kapal menuju Australia. Namun, sayangnya ia ditahan oleh pihak migrasi lalu dibawa kembali ke Tanjung Pinang. Kemudian di tahun 2014 barulah Abdul Hakim dipindahkan ke Kota Makassar.

Bertahun-tahun tinggal di negara orang, bukanlah impiannya untuk hidup tanpa status kewarganegaraan. Mencari perlindungan dari tindak kekerasan yang Abdul Hakim dan para pencari suaka lain yang mereka inginkan. Hidup layaknya masyarakat lain, bekerja, bersosialisasi, dan mendapatkan keamanan.

Pindah ke negara yang menerima keberadaan mereka dan mendapat status kewarganegaraan, adalah harapan terbesar Abdul Hakim dan pencari suaka lainnya.

“Jangan sekali-kali berkeinginan untuk menjadi migran. Hidup diatur tanpa status begini, bukan hal yang bagus untuk dijalani. Lebih baik hidup di hutan dengan makan seadanya tapi punya status, daripada hidup diakomodasi tapi tidak ada status kewarganegaraan sama sekali,” kata Abdul Hakim.

Bertahan hidup di negara orang lain bagi Abdul Hakim menjadi sebuah keharusan, apalagi dia telah menikahi Warga Negara Indonesia. Istri dan anak-anaknya bukan merupakan tanggungan dari organisasi seperti International Organization for Migration (IOM) untuk mendapat tambahan akomodasi layaknya keluarga pencari suaka lainnya.

Abdul Hakim
(Abdul Hakim memegangi bendera Indonesia saat mendaki gunung di Sulawesi Selatan/Abdul)

Dengan hanya memiliki Rp1.250.000 dari IOM, bagi Abdul Hakim tidaklah cukup untuk menghidupi keluarganya. Belum lagi masalah status kependudukan anak ketiga yang tidak tercatat siapa ayahnya.

Beberapa bulan lalu, istri Abdul Hakim melahirkan anak ketiga mereka. Namun, saat mengurus catatan kependudukan seperti Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran, anak ketiga Abdul Hakim justru tidak tercantum nama ayahnya.

“Kalau dua anak itu tertulis nama ayah saja, karena saya kan bukan WNI dan tidak ada dokumen. Tapi yang ketiga ini tidak ada sama sekali,” keluh Abdul.

Tidak hanya Abdul. Setidaknya sampai tahun 2020, pencari suaka dari Rohingya yang tinggal di Makassar sebanyak 124 orang, 15 orang di antaranya menikahi WNI dari total di seluruh Indonesia.

Ahmad (28) juga satu di antaranya. Menikahi wanita yang juga keturunan Bugis-Makassar pada 2016 lalu. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang anak perempuan kini usianya 5 tahun.

Beruntung kala itu keluarga kecil Ahmad masih dimudahkan untuk urusan administrasi seperti akte nikah dan akte kelahiran untuk anak. Sementara untuk buku nikah, mereka tentu saja tidak dapatkan mengingat Ahmad merupakan imigran tanpa status kewarganegaraan sehingga pernikahannya bersama istri tidak dianggap secara hukum.

Meski demikian, mereka sangat tahu dan memahami konsekuensi yang akan mereka dapatkan.

“Mau bagaimana lagi, pasrah saja. karena dari awal kita sudah tahu. Tapi yang namanya jodoh. Keluarga juga terima dia, mereka tidak ada yang protes, karena dia (Ahmad) orangnya baik. Dan sampai sekarang setelah menikah pun juga tidak berubah,” kata Ina (35), istri Ahmad.

Nasib Ahmad tidak jauh berbeda dengan kondisi kehidupan Abdul, Ahmad pun harus memenuhi kebutuhan keluarga dengan hanya mengandalkan pemberian akomodasi dari IOM.

Jika kebutuhan seperti beras habis, mereka terkadang makan mie instan. Ia dan keluarganya juga tidak ingin menerima bantuan lain, karena beresiko bantuan akomodasi dari IOM dan UNHCR terancam tidak diberikan. Apabila uang habis, Ahmad pun terpaksa meminjam kepada tetangga.

“Nanti kalau dapat akomodasi baru bisa bayar utang. Dapat dari mana uang kami ini?”
Berstatus sebagai imigran tanpa dokumentasi administrasi, Abdul Hakim dan Ahmad tidak bisa mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Sementara bagi Ahmad, tinggal jauh antara rumah istri dengan tempat penampungan (selter). Jika terpaksa harus menggunakan kendaraan bermotor untuk mengunjungi keluarganya, ia kerapkali ditangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian dan Imigrasi, karena Ahmad tidak memiliki surat izin berkendara.

“Kami dilarang kerja. Tidak boleh bawa motor. Jadi susah,” keluh Ahmad.

Status Hukum Pernikahan antara Imigran dan WNI

Dosen Pengajar Hukum Pengungsi Internasional, Hukum dan HAM Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Dr. Iin Karita Shakarina mengatakan secara umum, status pengungsi maupun pencari suaka di negara singgah dianggap ilegal. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki dokumen administrasi dari negara asal. Satu-satunya penanda identitas mereka hanya kartu yang diberikan UNHCR sebagai organisasi pengawas mereka, sehingga tidak ada dokumen bagi pengungsi maupun pencari suaka untuk mengurus sesuatu yang berkaitan dengan administrasi.

“Itu akan sulit. Misalnya, mereka tidak bisa bekerja, atau menurut mereka memang tidak bisa menikah dengan warga negara seperti Indonesia,” sebut Iin yang juga merupakan Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Inilah yang dialami Abdul, Ahmad, dan beberapa pengungsi maupun pencari suaka lainnya yang menikahi WNI. Mereka juga tidak bisa mendapat pekerjaan layak untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sebagaimana masyarakat pada umumnya. Bahkan, semua yang berhubungan dengan dokumen administrasi pun mereka dipersulit.

Meski demikian, pernikahan adalah hal yang dianggap manusiawi dan merupakan bagian daripada hak asasi manusia. Jika ada pengungsi atau pencari suaka yang tertarik dengan warga lokal, mereka tidak ada larangan.

(ruang tamu rumah akomodasi yang terdiri dari beberapa kamar dan dihuni oleh dua orang atau
satu keluarga dari pengungsi maupun pencari suaka di Makassar/Marwah)

Apalagi tempat rumah tendensi (rudenim) mereka juga sangat dekat dan mereka saling berbaur, sehingga pernikahan mungkin saja terjadi secara agama dan dianggap sah. Tapi secara hukum negara atau dalam administrasi, pernikahan mereka tidak terdaftar.

Menurut Iin, pernikahan campur antara pengungsi atau pencari suaka dengan WNI tidak ada masalah. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan di sisi WNI khususnya perempuan, yaitu konsekuensi yang akan mereka dapatkan nantinya.

“Kalau si perempuan ini sudah tahu dengan segala konsekuensi saat akan menikahi pengungsi, berarti resikonya dia sendiri yang menanggung,”

Apabila pernikahan yang tidak tercatat secara administrasi negara, itu artinya segala urusan akan selesai begitu saja. Sebagai contoh apabila suami yang berstatus pengungsi atau pencari suaka tiba-tiba pergi dan istri WNI ingin diceraikan, maka dengan mudah suami menalak istri walaupun hanya melalui via pesan seperti SMS.

“Karena mereka tidak ada ikatan secara hukum yang bisa menahan si suami dari pengungsi ini bertanggungjawab. Kalau dia tiba-tiba bosan misalnya, atau merasa untuk ingin bercerai yah sudah,” jelas Iin.

Selain itu, resiko lain juga akan berdampak pada surat administrasi anak seperti akta kelahiran. Sesuatu yang tidak memiliki legalitas akan sangat beresiko hingga pada masa depan anak itu sendiri.

“Memang dilema, kasihan dari segi perempuannya. Tapi kalau dia sudah tahu konsekuensinya, maka tidak ada masalah,” tutur Iin.

Membahas soal pernikahan, bukan seperti hubungan antara dua orang layaknya sepasang kekasih yang apabila selesai dengan mudah ditinggalkan. Hubungan pernikahan itu akan menyangkut banyak hal, salah satunya adalah status anak apalagi melalui pernikahan antar beda negara, sehingga dibutuhkan aturan atau kebijakan yang mengatur hal-hal tersebut.

Kepala Divisi Keimigrasian Kementerian Hukum dan HAM Kantor Wilayah Sulawesi Selatan, Dodi Karnida mengatakan bahwa secara keimigrasian, pengungsi maupun pencari suaka masuk dalam kategori migran ilegal, karena tidak memiliki izin tinggal dan pengawasan terhadap mereka dilakukan oleh rumah detensi imigrasi.

“Meski mereka yang di sini sudah lama tinggal bertahun-tahun, sehingga ada di antara mereka yang menikah dengan warga negara Indonesia khususnya pengungsi laki-laki yang menikah dengan WNI perempuan,” kata Dodi.

Secara umum, pernikahan campur antara WNI dan imigran tetap diakui karena itu merupakan hak setiap individu.

“Saya kira bukan hanya pemerintah Indonesia saja mengakui itu, UNHCR, IOM juga mengakui pernikahan itu,”

Hanya saja pengungsi maupun pencari suaka tidak memiliki izin tinggal, sehingga kebanyakan mereka yang menikahi WNI tidak memiliki surat nikah. Adapun mereka hanya memiliki surat keterangan nikah secara agama.

Status Anak
Pernikahan antara pengungsi maupun pencari suaka dengan WNI tidak memiliki surat nikah yang dikeluarkan oleh negara, dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga di dalam surat lahir anak tidak tercantum nama ayahnya. Tetapi tetap memiliki surat akta lahir dan tercatat di dalam kartu keluarga, ini merupakan hak setiap anak yang lahir di Indonesia.

Seperti anak-anak Abdul dan Ahmad. Mereka tetap mendapat hak diberikan akta kelahiran, dan dimasukkan ke dalam kartu keluarga.
Hanya saja bagi nama Abdul, Ahmad, dan imigran lain yang menikahi WNI tetap tidak diperbolehkan tercatat di dalam kartu keluarga, sehingga yang tercatat hanya ibu dan anak.

Ini tidak hanya terjadi kepada anak hasil nikah campur antara WNI dan imigran, antar sesama WNI pun yang tidak mendaftarkan pernikahannya, tentu tidak akan memiliki surat nikah. Anak pada akhirnya tetap merujuk kepada ibunya saja, tanpa mencantumkan nama ayah.

Dodi Karnida menjelaskan, anak juga punya hak yang sama dengan masyarakat lain, seperti mendapatkan paspor, akses pendidikan yang cukup, mendapatkan beasiswa, dan sebagainya.

Seperti misalnya, apabila ada anak yang merupakan darah keturunan Indonesia berprestasi di negara lain atau di Indonesia. Menurut Dodi, itu bahkan bisa menjadi suatu kebanggaan tersendiri untuk negara.

“Suatu saat dia bisa menjadi walikota, gubernur di negara tersebut, dan kita bangga mereka memiliki darah keturunan Indonesia berprestasi di negara luar,” tutur Dodi.

Kepala Bidang Pencatatan Sipil Disdukcapil Kota Makassar, Muhammad Ahdhar Saleh mengatakan untuk status anak sendiri, akta kelahiran menjadi hak semua anak yang lahir. Pemerintah atau negara wajib memenuhi hak-hak anak ketika membutuhkan akta kelahiran.
Akta kelahiran terdiri dari empat jenis tergantung dari persyaratan apa yang dipenuhi. Pertama, akta kelahiran umum yang dilengkapi dengan semua dokumen milik ibu dan ayah dari pernikahan sah menurut agama dan negara.

Kedua dari akta kelahiran anak dari hasil pernikahan siri, yakni pernikahan yang belum tercatat sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Akta kelahiran jenis ketiga, yaitu akan dicatatkan sebagai anak seorang ibu. Biasanya akta ini dibuat untuk anak-anak yang lahir di luar nikah (secara hukum negara).

Jenis akta kelahiran terakhir, yaitu tidak menyebutkan nama ayah dan ibu, jenis akta ini diperuntukkan bagi anak yang tidak diketahui asal usulnya.

“Dan dari empat macam model akta kelahiran ini, untuk anak seorang pengungsi yang menikahi WNI. Dan biasanya kalau itu perempuan, maka dia akan mendapatkan akta kelahiran model ketiga bahwa dia anak seorang ibu (sementara nama ayah tidak dicantumkan),” Ahdhar menjelaskan.

Lain halnya apabila pengungsi atau pencari suaka yang dari perempuan menikahi WNI pria. Dokumen yang diterbitkan bukan akta kelahiran, namun pihak Dukcapil hanya akan menerbitkan surat keterangan kelahiran.

Untuk anak yang tidak masuk di kartu keluarga, seorang anak dari pengungsi tidak akan dituliskan nama ayah di kartu keluarga maupun akta kelahiran, karena ayah yang merupakan pengungsi atau pencari suaka tidak memiliki dokumen. Hal tersebut tertuang dalam aturan baru yang dikeluarkan Perpres nomor 96 tahun 2018, Permendagri nomor 108 tahun 2019, dan Permendagri nomor 109 tahun 2019.

Berlakunya aturan baru tersebut, mungkin saja akan berdampak pada kondisi psikologis anak itu sendiri. Untuk itu Ahdhar menyarankan bagi Warga Negara Indonesia, khususnya perempuan agar memahami terutama yang terkait dengan kependudukan. Hal ini, karena disebabkan pernikahan orangtua akan berdampak pada masa depan anak.

Masyarakat harus mengetahui bahwa ada konsekuensi yang harus diterima ketika melakukan pernikahan dengan pengungsi.

“Mungkin orangtuanya sudah senang-senang saja. Tapi perlu diingat bahwa ini akan berdampak kepada psikologi anak, status hukum anak, bahkan status hukum suami dan istri itu tidak diakui secara negara,” kata Ahdhar.

 

Ditulis oleh: Marwah Ismail