Dr. H. Saladin Hamat Yusuf, M.Si yang juga hadir pada konferensi pers menceritakan kronologis pemidanaannya yang jelas dipaksakan.

“Jadi saya pada waktu itu dipenjarakan. Saya pada saat itu dilaporkan A. Baso Matutu dengan dasar surat palsu camat, itu tadi. Seolah-olah dia punya tanah di lokasi kami. Saya juga menandatangani pengembalian batas oleh BPN, jadi BPN memberikan saya format dan saya harus tandatangan sebagai pemohon untuk pemecahan di situ jumlahnya 12.000 menjadi 15.000. Pihak kepolisian bertanya dari mana itu, saya tidak tahu! karena itu BPN yang mengukur,” jelas Saladin kepada awak media.

Terkait pemidanaanya yang terkesan dipaksakan, Saladin mengatakan, sampai hari ini ia sebagai korban ketidakadilan masih mempertanyakan terkait pembuktian tindak pidana yang dilakukan.

“Jadi saya dilaporkan itu, saya tidak tahu pidana apa, jadi sampai hari ini saya masih bertanya-tanya, apa yang saya lakukan, dan saya sudah tanyakan kepada kejaksaan saat itu, di mana kesalahan saya? apa yang saya lakukan sehingga saya ditahan dan tetap dipaksakan sehingga saya dikorbarkan,” tegas Saladin.

Alif mengatakan, dalam perkara pidana Dr. H. Saladin Hamat Yusuf, M.Si juga terdapat kejanggalan sebab pemidanaannya tidak berdasar dan terkesan dipaksakan.

“Kejanggalan lainnya karena dalam perkara pak Saladin itu, putusan peninjauan kembali (PK) lebih dahulu diputuskan oleh Mahkamah Agung, yakni tanggal 6 Agustus 2018 ketimbang pengajuan permohonan peninjauan kembali pada tanggal 30 Agustus 2018,” ujar Alif.

Ketidakadilan yang dialami para ahli waris Hamat Yusuf ini sangat jelas menunjukkan adanya permainan mafia hukum, mafia peradilan, dan mafia tanah.

Alif dengan tegas menolak putusan tingkat pertama perkara perdata yang memenangkan A. Baso Matutu dikarenakan penggugat telah menjadi seorang terpidana dan juga 3 hakim yang menangani perkara tersebut telah terbukti menghilangkan 12 alat bukti dari pihak ahli waris Hamat Yusuf.