GOWA – Marhaban yaa Ramadhan, Bulan Ramadhan yang jamak kita kenal sebagai bulan ampunan, bulan pendidikan ataupun bulan penyucian jiwa.

Namun secara tekhnis, bulan Ramadhan adalah momen untuk membangun dua nilai dasar manusia. Yakni momen untuk memperkuat soliditas keimanan dan momen untuk mempererat solidaritas kemanusiaan.

Secara bahasa momen diartikan sebagai waktu yang singkat, artinya bulan Ramadhan adalah sedikit waktu yang menjadi saat yang tepat terjadinya suatu peristiwa atau perubahan sikap. Dan waktu yang singkat, antara 29-30 hari inilah saat yang tepat untuk membangun soliditas dan solidaritas sebagai seorang manusia yang utuh.

Pertama, momen untuk memperkuat soliditas keimanan. Sebagai makhluk yang berketuhanan, kita tentu memiliki keyakinan bahwa adanya manusia adalah bukti adanya Tuhan, dan konsekiensi dari keyakinan itu adalah hadirnya Iman sebagai perwujudan dari ketundukan kita terhadap sang pencipta, sang pengatur dan sang pelindung.

Sebagai muslim, Iman adalah bab pertama dalam kitab kehidupan. Yang artinya pondasi dalam struktur bangunan beragama adalah keyakinan terhadap Allah SWT yang menciptakan, mengatur dan melindungi manusia, yang harus disikapi dengan ketundukan dan kepatuhan terhadap aturan yang dibuatNya oleh manusia sebagai Hamba. Karenanya menjadikan Iman kita solid adalah keniscayaan bagi seorang Hamba.

Bulan Ramadhan adalah momen Allah SWT mendidik kita menjadi seorang hamba dengan Iman yang Solid. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 183.

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْکُمُ الصِّيَا مُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِکُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”

Meskipun kita belum tentu beriman, Allah sudah berprasangka baik dengan memanggil Kita sebagai orang yang beriman, sebuah sapaan yang mesra dari Tuhan kepada HambaNya. Diujung sapaan itu, ada tujuan yang harus kita capai, yakni menjadi orang yang bertakwa, nah takwa inilah yang dimaksud sebagai keimanan yang solid, kepatuhan dan ketundukan sacara total 100%. Diantara sapaan yang mesra dan tujuan yang harus dicapai, Allah menyebutkan cara yang harus kita lakukan untuk menggapai tujuan tersebut. Yaitu dengan berpuasa.

Puasa adalah jalan untuk meraih ketakwaan (iman yang solid). Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman.
الصيام لي وأنا أجزي به
“Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya“

Kalau ibadah salat dan zakat adalah ibadah yang pelaksanaannya harus kita perlihatkan, bahkan ibadah haji setelah ditunaikan maka kita akan mendapat gelar haji atau Hajjah, yang artinya bisa dinilai oleh orang lain, berbeda dengan puasa. Kita bisa berlagak seolah-olah kita berpuasa, tapi hakikatnya yang tahu hanya Allah SWT, tidak bisa kita jadikan puasa sebagai alat pencintraan, karena yang bisa menilai hanyalah Allah SWT. Sehingga keimanan bahkan ketakwaan itu sendiri, adalah urusan antara individu dengan Tuhannya semata, tidak ada urusan dengan orang lain.

Kedua, momen untuk mempererat solidaritas kemanusiaan. Tentu kita memahami bahwa manusia adalah makhluk sosial, tidak bisa kita menafikan kontribusi atau peran orang lain dalam kehidupan kita. Dalam konsep kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow, mulai dari dasar Piramida hierarki kebutuhan manusia sampai pada puncak Piramida tersebut, semuanya bergantung pada sikap orang lain pada kita.

Bulan Ramadhan, dimana kita diperintahkan untuk berpuasa, agar kita bisa merasakan apa yang dirasakan oleh si fakir dan miskin yang tidak bisa makan karena tidak ada yang bisa dimakan, merasakan lapar dan dahaga meski tetap harus menjalani kehidupan yang apa adanya. Dalam perintah berzakat, kita diperintahkan membagi sebagian yang kita punya, agar si fakir dan miskin tadi bisa makan dan minum dengan nikmat tanpa harus melakukan tindak kriminal. Kedua perintah itu akan mempererat solidaritas sebagai sesama manusia.

Baca Juga : Masyarakat Bantimurung Terima BLT di Safari Ramadan MYL