“Pasal objek uji materiil a-quo sama sekali tidak memuat tentang syarat pemulihan hak atau penggantian kerugian bagi Pihak Pembeli pada saat hak cipta dan/atau hak ekonomi itu kembali kepada pencipta dan pelaku pertunjukan, kondisi norma yang diatur dalam Pasal 18, Pasal 30 dan Pasal 122 UU Hak Cipta tidak mendudukkan subjek hukum pada posisi yang “equal” sesuai prinsip persamaan dihadapan hukum,” ungkap Fahri.

Fahri cenderung sependapat dengan argumentasi dan uraian kerugian yang didalilkan pemohon dalam permohonannya, dan dalam batas penalaran yang wajar kerugian tersebut tentu dapat dipahami dengan segala konsekwensi kedudukannya, baik dari aspek ekonomi maupun keadaan hukum lainnya.

Dengan demikian Ahli berpendapat bahwa ketentuan norma Pasal 18, Pasal 30 dan Pasal 122 UU Hak Cipta telah secara aktual atau setidak-tidaknya potensial bertentangan dengan norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dia mengatakan, keberadaan norma Pasal 18, Pasal 30 dan Pasal 122 UU Hak Cipta tersebut menurut Pemohon menimbulkan kerugian konstitusional yang nyata serta kerugian materiil bagi Pemohon, dengan mencermati rumusan norma pasal tersebut, maka demi hukum harus beralih hak yang sudah dimiliki Pemohon kepada Pencipta dan Pelaku Pertunjukan padahal sebelumnya telah dilakukan jual beli, telah ada cost atau biaya yang dikelurakan oleh pemohon. Pasal 18, Pasal 30 dan Pasal 122 UU Hak Cipta telah berlaku secara surut terhadap perbuatan hukum Pemohon yang dilakukan sebelumnya, sehingga hal ini sangat bertentangan dengan Larangan Pemberlakuan Surut suatu Undang-undang,” jelasnya.

Baca Juga : Pengujian UU Otsus Papua di MK, Pemerintah Hadirkan Fahri Bachmid sebagai Ahli Presiden

Fahri berargumen bahwa berdasarkan kajian literatur dalam Black’s Law Dictionary, retroaktif adalah “extending in scope or effect to matters that have occured in the past.” Asas “non-retroaktif” adalah asas yang melarang keberlakuan surut dari suatu UU. Hal ini karena dapat mengakibatkan terjadinya kekacauan dalam administrasi hukum serta ketidakpastian hukum, lebih jauh akan menciptakan disharmoni dalam tata peraturan perundang- undangan.