“Pelanggaran didominasi oleh penggunaan senjata api sebanyak 456 kasus,” katanya.

Berdasarkan temuan KontraS, tindak kekerasan kepolisian kerap dilakukan saat menangani unjuk rasa dan kriminalisasi aktivis hak asasi manusia (HAM).

Polisi kerap menggunakan kekuatan yang berlebihan dan tidak terukur. Ruang diskresi aparat juga dinilai terlalu luas.

“Selain itu, kepolisian juga begitu antikritik ditunjukkan dengan penghapusan mural, penangkapan pembentang poster, dan pengejaran pembuat konten,” ucap Rivanlee.

Lebih lanjut, Rivanlee menyebutkan deret kasus kekerasan oleh aparat antara lain, penganiayaan 83 kasus, penangkapan sewenang-wenang 47 kasus, dan pembubaran unjuk rasa 43 kasus.

Sebanyak 479 kasus kekerasan tercatat dilakukan Polres, 121 oleh Polsek, dan 77 kasus oleh Polda.

Menurut KontraS, kasus kekerasan oleh polisi dalam setahun ini melonjak dari tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 651 kasus.

Diwawancara terpisah, Karo Penmas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengungkap Polri menerima penilaian publik dengan tangan terbuka. Ia berjanji akan menjadikan temuan itu sebagai bahan evaluasi bagi institusi.

“Kita berpikir secara positif atau positive thinking, bahwa penilai atau siapapun juga ingin Polri lebih baik. Itu akan kita jadikan evaluasi, kritik-kritik kepada Polri,” kata Ramadhan.