Beberapa substansi dalam sejumlah pasal juga berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Seperti misalnya, larangan menyiarkan hal berbau komunisme marxisme, dan leminisme.

Dalam rancangan aturan itu, apabila tulisan memuat tentang komunisme lalu menimbulkan kegaduhan, jurnalis dapat dipidana dengan ancaman dua tahun penjara meski tulisan itu bernada kritis.

“Kalau misal menimbulkan kegaduhan maka kemudian bisa ditambah hukumannya. Kalau kegaduhannya menimbulkan korban luka atau ada yang cidera itu hukumannya nambah. Itu contohnya,” ujar dia.

Selain itu, Azyumardi juga menilai jurnalis rentan menjadi objek kriminalisasi. Jurnalis tak diperbolehkan mengkritik pemerintah bila tak mengikutsertakan solusi di tulisannya.

“Kalau kita mengkritik ya boleh mengkritik tapi harus ada solusinya. Oleh karena itu media yang memuat kritik tapi tidak ada solusi itu bisa kena delik. Walaupun kemudian pihak pemerintah ketika saya tanya soal ini ya dia bilang ya ga harus begitu, tapi kan pengalaman kita pasal-pasal seperti itu seperti pasal karet yang ada di UU ITE,” tuturnya.

Ia juga menyayangkan keputusan pemerintah dan DPR yang tak lagi mengundang Dewan Pers untuk mendiskusikan RKUHP. Pasalnya, pembahasan RKUHP perlu melibatkan partisipasi publik, termasuk mereka yang terdampak langsung.

Dewan Pers pun berharap dapat diundang kembali oleh DPR dan pemerintah untuk bersama-sama mengkaji ulang RKUHP.

“Coba diundang, dibahas kembali pasal-pasal yang kontroversial itu agar kita diskusikan kembali. Memang yang kontroversial itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak kontroversial ada banyak, tapi yang kontroversial ini seperti menyangkut kehidupan pers. Itu sangat berbahaya bagi kehidupan pers kita di masa depan,” tutupnya.