Penulis : Wens Panggal

OPINI – Berdasarkan catatan sejarah dalam buku “Kenangan 50 Tahun Paroki St. Yohanes Lengko Elar”(1937-1987) bahwa Elar memiliki catatan sejarah dalam bidang pendidikan melalui perjuangan para misionaris pada zaman dahulu. Menurut literasi tersebut bahwa sejak tanggal 1 agustus 1923 ditentukan oleh Misi Flores di Maumere terkait penempatan para misionaris di Kerajaan Manggarai untuk mewartakan ajaran agama katholik sekaligus merangkap sebagai guru. Pada saat itu yang diutus dari Misi Flores di Maumere yaitu Bapak Wilhelmus Pareira Mitang dan Bapak Yohanes Sumbawa berangkat dengan menggunakan transportasi laut yakni Kapal KPM Maumere menuju Kedindi.

Sesampainya di Kedindi, beberapa hari kemudian tepat pada tanggal 15 Agustus mereka bertemu dengan Pater Wilhelmus Yansen dan Pater Dorn. Dan kegiatan selanjutnya yaitu belajar bahasa Manggarai selama kurun waktu dua minggu. Tidak lama kemudian pada tanggal 1 September mereka ditempatkan di lokasi bertugas yakni Bapak Yohanes Sumbawa ditempatkan di Labuan Bajo dan Bapak Wilhelmus Pareira Mitang ditempatkan di Kedaluan Biting. Pada saat itu Kedaluan Biting belum ada lembaga pendidikan.

Dengan akses informasi yang belum memadai pada saat itu, tentu kedua Tokoh tidak saling berkomunikasi dan masing-masing fokus pada pengabdian untuk umat atau masyarakat Congkasae pada saat itu. Berhubung Bapak Wilhelmus Pareira Mitang ditempatkan di Daerah asal saya yaitu kampung Lengko Elar atau Kecamatan Elar dan untuk Bapak Yohanes Sumbawa yang bertugas di Labuan Bajo kita akhiri ceritanya karena akses informasi tentang perjalanannya belum saya ketahui.

Perjalanan menuju Elar pada saat itu masih berjalan kaki atau menggunakan Kuda yang artinya membutuhkan waktu kurang lebih satu minggu dalam perjalanan menuju Lengko Elar. Pada saat itu, Beliau disambut hangat dalam balutan budaya Kedaluan Biting.

Ditengah kesulitan bahasa yang berbeda antara Tokoh, keberhasilan kinerja penerjema menjadi canda dan tawah serta sontakan kata “Mbore dan Ondok” tanpa sadar diungkapkan Sang Dalu hinggah suasana menjadi hangat. Hal ini membuat Sang Fajar dari Maumere menambah semangat agar wujudkan misi untuk mendirikan sekolah di Kampung ini. Tepat pada tanggal 17 September 1923 Sekolah Dasar Katholik Lengko Elar dibuka dan yang menjadi Guru sekaligus pendiri sekolah yaitu Bapak Wilhelmus Pareira Mitang. Adapun jumlah murid yang tercatat yaitu 65 Orang dan lokasi gedung Sekolah pada saat itu berada di Kampung Tungal di dekat Daerah Lengko Welu.

Hemat saya, konteks sejarah dan perkembangan pendidkan di Lengko Elar tentu kita syukuri dengan kehadiran Misionaris yang membawa kita pada perubahan yaitu mencerdaskan para generasi karena bagi saya pendidikan merupakan salah satu obor dalam suatu perjalanan kehidupan. Tentu sebagai orang Manggarai Timur sebelum mengenal pendidikan adalah budaya atau adat istiadat. Masyarakat Manggarai Timur khususnya di Kecamatan Elar selalu menjujung tinggi nilai kekeluargaan dan budaya yang telah diwarisi dari leluhur. Menurut pengamatan penulis, dalam melestarikan budaya antar Tokoh masyarakat, tokoh Adat, Tokoh Pendidikan dan pemerintah setempat selalu berkomunikasi untuk bekerjasama dalam mengembangkan nilai budaya.

Hal ini tentu dalam penerapannya bersifat gotong royong yaitu dengan melibatkan masyarakat. Dalam prosesnya untuk beberapa dekade yang saya ikuti ada beberapa rangkaian acara yang sedikit berbeda dari apa yang leluhur eksekusi pada zaman dahulu. Pun terdapat perubahan lainnya yaitu pada alat dan bahan tertentu dari tradisional menuju yang bersifat modern. Hal ini mungkin disebabkan adanya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Eksistensi dan proses adat istiadat di era modern sekarang ini bagi saya cukup sulit untuk menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Oleh karena itu yang patut diberikan apresiasi yaitu kecerdasan para Tokoh masyarakat, tokoh Adat, Tokoh Pendidikan, Pemerintah dan masyarakat yang memiliki kemampuan adaptasi serta point-point penting dari rangkaian ritual adat yang telah diwariskan oleh leluhur agar dimasukan dalam susunan acara hasil inovasi di era modern ini.

Sebagai contoh yaitu di Desa Rana gapang terdapat acara pengumpulan dana pendidikan, kegiatan tiga guna (TRIGUNA), syukuran atas kesuksesan yang diraih dan lain sebagainya. Hal ini terasa oleh kita anak-anak Desa dan mungkin relative untuk di Kota. Dari beberapa kegiatan diatas, telah diketahui dimana-mana melalui perkembangan teknologi misalnya postingan di media masa oleh masyarakat yang terlibat dalam suatu kegiatan, para pemuda/i dan pelajar serta para perantau yang bercerita kepada siapa yang bertanya dan simpatik tentang budaya kita.
Berasaskan budaya dan semangat kekeluargaan yang sama, masyarakat memiliki antusias yang tinggi dalam suatu rangkaian acara karena hal yang dipikirkan adalah hubungan timbal balik serta persaingan dalam mengelola bidang ekonomi keluarga akan pemenuhan kebutuhan hidup disela-sela kegiatan rutinitas kehidupan sosial. Selain pada pemenuhan bidang ekonomi, Masyarakat Rana Gapang memiliki semangat yang sama yaitu peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan. Konteks pendidikan diera modern sekarang ini, tentu tidak terlepas dari biaya pendidikan.

Dari beberapa acara diatas khususnya pengumpulan dana bidang pendidikan dengan tujuan untuk meringankan beban biaya pendidikan bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang melanjutkan studi pada Perguruan Tinggi atau Universitas yang ada dalam Negeri (Acara Ini Mungkin tidak Berlaku Semua). Di Desa Rana Gapang, bentuk sistem kerjanya yaitu menetapkan ketua panitia melalui musyawarah sebagai pimpinan kepengurusan panitia. Misalnya ketua Panitia dan anggota pengumpulan Dana Pendidikan.

Atas jabatan sosial ini, tentu sistem kerjanya juga berasaskan loyalitas dan kejujuran serta menyajikan konsep untuk di diskusikan pada saat rapat bersama dalam suatu kelompok agar acara yang dimaksud berjalan dengan aman, lancar dan hasil yang memuaskan. Untuk itu, ucapan doa dan terima kasih terus dipanjatkan untuk para Pahlawan pendidikan dan semua orang baik yang telah mendukung generasinya untuk melanjutkan studi pendidikan dimanapun berada. Hemat penulis, sebagai kesimpulan akhir dari beberapa kegiatan diatas ujungnya adalah dapat mempertahankan hidup dan sebagai bonusnya adalah mempertahankan martabat dengan mencerdaskan para generasi demi membawa perubahan dalam suatu internal keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.

Baca Juga : Perempuan Dalam Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia

Nonton Juga