Jakarta – Kasus mobil Toyota Fortuner berplat dinas polisi dinas 3488-07 tabrak lari dan melawan arah yang terjadi sejak Agustus 2021 yang lalu dengan terdakwa Ardhian Satya “AS” telah disidangkan selama kurang lebih satu bulan di pengadilan negeri Jakarta selatan.

Dalam agenda sidang Pembelaan kuasa hukum menilai bahwa telah terdapat beberapa fakta yang menjadi kejanggalan dalam kasus ini, yakni harusnya terdapat pelaku/terdakwa lain yang tentunya merupakan majikan dari Klien kami yakni M Qiu.

“Hal ini tentu aneh sekali saudara M Qiu yang namanya terdapat dalam BAP dan dakwaan, namun tidak dihadirkan ke hadapan persidangan,” ujar Kuasa Hukum “AS” Fahmi Namakule di Jakarta, Jumat (29/07/2022).

Menurut Fahmi, aksi yang dilakukan oleh kliennya itu tentunya bukan keinginan ataupun kehendak sendiri tetapi justru diperintahkan oleh majikannya yang saat itu berada disampingnya sebagai penumpang.

Hal tersebut diperkuat oleh keterangan saksi Harry Ramadhan “HR” yang dihadirkan JPU yang menerangkan bahwa benar saksi melihat dalam kendaraan Fortuner ada 2 (dua) orang.

Selain itu tuntutan yang dikenakan terhadap kliennya “AS” merupakan suatu hal tidak sesuai dengan keterangan saksi Muhammad Ferdian “MF” yang dihadirkan oleh JPU bahwa dalam tuntutannya terdapat korban luka, sedang keterangan saksi “MF” menyatakan lain yakni tidak terdapat korban luka.

“Kami menilai terdapat ketidaksesuaian antara fakta-fakta persidangan dengan dakwaan maupun tuntutan dari jaksa penuntut umum,” kata Fahmi.

Tidak hanya itu, dalam persidangan yang mulia ini tentunya peran dari majelis hakim sebagai pihak yang netral tentu sangat diperlukan demi terciptanya dunia peradilan yang bersih dan bebas dari intervesi pihak manapun. Namun, sayangnya menurut ia selama persidangan ini berlangsung kliennya tidak bebas dalam menggunakan hak-hak selaku terdakwa.

“Hal yang tidak wajar disampaikan majelis secara lisan kepada klien kami bahwa “kamu akan dipenjarakan apabila majikan kamu tidak memberikan ganti rugi. Sementara disisi lain majikan yang kemudian menjadi penumpang tidak dijadikan sebagai terdakwa dan kemudian dibebaskan, lantas bagaimana proses ganti kerugiannya,” tanya Fahmi.

Secara etis maupun prosedural hukum acara, seorang hakim tidak sepatutnya menyampaikan penyataan yang isinya kurang lebih berupa ancaman terhadap terdakwa, karena kapasitasnya selaku hakim dan bukan sebagai JPU atau Advokat.

“Oleh karena itu, kami meminta kepada Komisi Yudisial RI sebagai lembaga pengawas Eksternal dalam tataran kekuasaan kehakiman yang mempunyai peran penting dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim, untuk mengawasi dan memantau proses peradilan saya dengan nomor register perkara 328/Pid.Sus/2022/Pn Jkt.Sel, kemudian memberikan sanksi tegas apabila ditemukan kesalahan penerapan hukum dan maladministrasi dalam penanganan perkara ini,” tegas Fahmi.

Baca Juga : PERMAHI: Kehadiran RKUHP Ancam Jalannya Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat

Nonton Juga